Cibinong, Berita Geospasial – Di penghujung 2025, Badan Informasi Geospasial (BIG) membuka ruang dialog dan edukasi publik kegiatan Literasi Geospasial untuk Masyarakat bertajuk `Bogor dari Atas` pada Selasa, 16 Desember 2025. Sebanyak 100 peserta dari beragam komunitas hadir, mulai dari pegiat kebencanaan hingga masyarakat yang ingin memahami wilayahnya secara lebih mendalam.
Melalui kegiatan ini, BIG mengajak masyarakat melihat Bogor tidak sekadar sebagai ruang hidup sehari-hari, tetapi sebagai wilayah dengan dinamika geologi dan identitas geografis yang perlu dikenali bersama. Dua narasumber dihadirkan untuk mengupas tema tersebut dari sudut pandang berbeda namun saling melengkapi.
Isnaini Annuriah Mundakir dari Direktorat Sistem Referensi Geospasial memaparkan materi mengenai potensi gempa bumi dan upaya mitigasi. Sedangkan, Aji Putra Perdana dari Direktorat Pemetaan Batas Wilayah dan Nama Rupabumi mengulas pentingnya toponimi dan geografi sebagai penanda identitas unsur di muka bumi.
Dalam paparannya, Isnaini menjelaskan bahwa Indonesia merupakan wilayah rawan bencana karena berada di Cincin Api Pasifik dan memiliki ratusan gunung api aktif. Kondisi tersebut menjadikan informasi geospasial sebagai fondasi penting dalam mengenali dan memetakan potensi gempa bumi serta tsunami.
Melalui data geospasial, BIG memantau pergerakan lempeng bumi dengan jaringan Ina-CORS (Indonesia Countinuously Operating Reference Station), Stasiun GNSS (Global Navigation Satellite System) kontinu, hingga stasiun pasang surut yang merekam dinamika muka air laut secara real time untuk mendukung sistem peringatan dini tsunami.
“Untuk saat ini, gempa bumi belum bisa diprediksi. Namun dampaknya bisa kita minimalisir dengan memahami peta potensi bencana dan melakukan mitigasi yang tepat sejak dini,” ujar Isnaini.
Ia menambahkan, kajian seperti peta regangan (strain map) dan pemantauan sesar aktif menjadi bagian penting dari upaya BIG dalam memperkuat kesiapsiagaan bencana berbasis sains dan data.
Kegiatan ini tidak berhenti pada paparan teoritis. BIG juga menghadirkan pengalaman visual melalui sejumlah booth literasi geospasial.
Peserta dapat melihat peta digital, anaglyph Kota Bogor, miniatur peta, hingga peralatan survei yang selama ini digunakan dalam pemetaan dan pemantauan kebumian. Visualisasi tersebut membantu peserta memahami bahwa informasi geospasial bukan konsep abstrak, melainkan pengetahuan yang berdampak langsung pada keselamatan dan kualitas hidup masyarakat.
Sesi tanya jawab yang berlangsung interaktif semakin memantik antusiasme peserta. Beragam pertanyaan muncul, mulai dari potensi gempa di wilayah Bogor hingga cara masyarakat memanfaatkan peta bencana dalam kehidupan sehari-hari. Diskusi ini menegaskan bahwa literasi geospasial dapat menjadi jembatan antara pengetahuan teknis dan kesadaran publik.
Kesturi Haryunani dari Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama BIG yang juga menjadi narasumber berharap kegiatan `Bogor dari Atas` mampu mengubah cara pandang masyarakat terhadap peta. Menurutnya, peta bukan sekadar gambar dua dimensi, melainkan alat strategis untuk mengenali risiko dan potensi wilayah.
“Dengan adanya peta, masyarakat dapat mengambil keputusan yang lebih tepat dan lebih baik untuk lingkungannya,” tutupnya.
Penulis: Ghaalya Zetya Maghfira
Editor: Kesturi Haryunani