Sabtu, 02 November 2024   |   WIB
en | id
Sabtu, 02 November 2024   |   WIB
Esensi Penggunaan Bahasa Lokal dalam Toponimi

Cibinong, Berita Geospasial – Apalah arti sebuah nama? Seandainya Shakespeare hidup di masa kini dan memahami peran penting nama sebuah tempat, mungkin dialog dalam salah satu karyanya yang terkenal tersebut tidak pernah ada. Pemberian nama tempat atau toponimi kerap diabaikan. Padahal penamaan tempat memiliki nilai tinggi berkaitan dengan identitas dan jati diri suatu bangsa. Tanpa toponimi, sebuah peta hanya akan mejadi peta buta.

Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk sebuah kelompok pakar yang khusus untuk menangani toponimi yang disebut dengan United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN). UNGEGN memiliki 24 divisi geografis/linguistik yang salah satunya adalah Asia South-East Division (ASED).

Sesuai dengan resolusi pertemuan ASED ke-8 pada tahun 2020, Sekretariat UNGEGN ASED berinisiatif untuk menyelenggarakan Webinar bertajuk “Recognizing Generic Terms from Local Languages” yang dilaksanakan secara daring pada Senin, 30 Agustus 2021. Acara ini bertujuan berbagi pengetahuan tentang hubungan antara toponimi dan bahasa, sebaran bahasa daerah di negara-negara anggota ASED, dan peran informasi geospasial dalam pembuatan Peta Estimasi Sebaran Bahasa.

Ketua ASED periode tahun 2018-2022, Mohamad Arief Syafii menyambut hangat para pembicara dan peserta yang telah hadir dalam webinar. “Kegiatan webinar ini bertujuan untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman terkait toponimi dan Bahasa, sebaran Bahasa lokal di wilayah negara anggota ASED, dan peran informasi geospasial dalam pembuatan peta sebaran Bahasa,” tutur Arief.

Ferjan Ormeling – Pakar Toponimi dari University of Amsterdam, Belanda – menjabarkan hubungan antara toponimi dan bahasa. “Selalu ada cerita di balik nama geografis saat ini, sebagai bagian dari warisan budaya yang harus dilestarikan. Nama-nama yang diberikan memberikan konteks pada ruang yang kita tinggali, karena mereka menghubungkannya dengan sejarah budaya dan sosial kita,papar Ormeling.

Pakar Toponimi Universitas Indonesia Multamia RMT Lauder mengatakan kondisi Indonesia sebagai multi-kultural dan multi-bahasa, sehingga perlu dilakukan pembakuan nama rupabumi di Indonesia. “penelitian nama-nama tempat generik dalam ratusan bahasa daerah sebagai dasar penulisan nama topografi serta memeriksa kembali makna, sejarah (etimologi) dan makna budaya dari nama-nama diri (spesifik) yang telah diberikan oleh masyarakat setempat,ujar Multamia menyimpulkan.

Meliton B. Juanico, Dosen Profesional di Universitas Diliman Filipina menjabarkan kaitan antara bahasa lokal dan toponim di Filipina. Filipina, serupa dengan Indonesia, merupakan negara multi-kultural dengan 175 bahasa yang sebagian berasal dari akar yang sama, Austronesia, dengan beberapa Bahasa di Indonesia misalnya Jawa dan Bali. Filipina juga memiliki kecenderungan yang sama, yaitu permasalahan penamaan suatu tempat yang tidak sesuai dengan kaidah toponimi. “Terdapat kecenderungan yang sama, yaitu permasalahan penamaan suatu tempat yang tidak sesuai dengan kaidah toponimi, ungkap Meliton.

Kepala Badan Informasi Geospasial Muh Aris Marfai yang menjadi pembicara pamungkas membahas topik mengenai informasi geospasial dan pembakuan nama geografis di Indonesia. Menurut Aris, terdapat prinsip-prinsip yang harus dipatuhi dalam pemberian nama suatu tempat, diantaranya adalah mengutamakan penggunaan bahasa lokal dan menghindari penggunaan nama orang yang masih hidup.

“Nama rupabumi harus memenuhi prinsip penamaan, salah satunya menghindari penggunaan nama orang yang masih hidup dan dapat menggunakan nama orang yang sudah meninggal dunia paling singkat 5 (lima) tahun terhitung sejak yang bersangkutan meninggal dunia,” ujar Aris menekankan. Lebih lanjut, Aris menyatakan bahwa toponimi merupakan salah satu cara untuk melestarikan Bahasa dan budaya lokal Indonesia.

“Melalui perekaman dan penulisan pengucapan toponimi yang dikelola dalam Gazeter Republik Indonesia di Sistem Informasi Nama Rupabumi, kita bersama-sama melestarikan istilah generik lokal dan bahasa daerah,” tutup Aris. (RD/MAD)