Munculnya SNI 7925:2019 diharapkan dapat mendorong pelestarian lahan gambut. Melalui SNI tersebut, setiap pihak kini memiliki standar acuan yang dapaat digunakan bersama untuk memetakan lahan gambut berskala 1:50.000 berbasis citra penginderaan jauh.
Kepala Badan Informasi Geospasial Hasanuddin Zainal Abidin menyatakan bahwa salah satu keuntungan dari adanya SNI 7925:2019 adalah kini pemerintah tidak sendirian dalam memetakan lahan gambut. SNI 7925:2019 mendorong partisipatory mapping dari masyarakat dan mitra pemerintah.
“Di dunia ini selalu ada tarik-menarik antara konservasi lingkungan dengan pengembangan ekonomi. Tentunya ini perlu ada pengelolaan yang smart sehingga ada win-win solution. Karena itu standar ini jadi perlu,” ucap Hasanuddin saat membuka Forum Standardisasi Informasi Geospasial: Implementasi dan Manfaat SNI 7925:2019 Dalam Dunia Industri dan Pelestarian Ekosistem Gambut di IPB International Convention Center, Kamis (5/3/2020).
Ketersediaan peta lahan gambut skala 1:50.000 diharapkan dapat membantu mendata karakteristik lahan gambut dan menginformasikannya secara luas kepada masyarakat. Dengan demikian, diharapkan upaya perlindungan terhaap lahan gambut semakin nyata dan berkelanjutan.
Sebagai catatan, data Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup menunjukkan ada 865 Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang berada pada ekosistem gambut. KHG mempunyai luas 24.667.804 Ha, terbagi menjadi Indikatif Fungsi Lindung Ekosistem Gambut seluas 12.398.482 hektar dan Indikatif Fungsi Budidaya Ekosistem Gambut seluas 12.268.321 Ha. Adanya fungsi lindung dan budidaya ini membuktikan bahwa ekosistem gambut merupakan bagian strategis dalam konstelasi tata ruang dan kehidupan alam serta makhluk hidup.
Tidak banyak yang tahu bahwa lahan gambut dan biodiversitas yang berada di dalam dan di atas permukaannya sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan alam dan mendukung kesejahteraan penduduk disekitarnya. Dalam konteks jasa lingkungan, lahan gambut dan ekosistemnya mampu mengatur tata air dan penyimpan karbon yang berfungsi penting sebagai penyeimbang iklim.
Semakin terbatasnya lahan produktif, membuat lahan gambut yang dulunya dianggap sebagai lahan marginal mulai dilirik oleh pelaku industri. Lahan gambut mulai dikonversi menjadi lahan tanaman produksi seperti kelapa sawit dan akasia. Lahan gambut dikeringkan dengan cara dibakar, yang mana menjadi salah satu sumber atau penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Alih fungsi lahan gambut secara tidak teratur ini dapat mengakibatkan penurunan permukaan air tanah dan berdampak panjang pada kemungkinan munculnya banjir. (RD/MAD/RKI)