Surabaya, Berita Geospasial – Sejak 2019, Badan Informasi Geospasial (BIG) telah berhasil membangun 290 stasiun pasang surut (pasut) Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS). Dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi pengelolaannya, BIG menggelar ‘Focus Group Discussion (FGD) Evaluasi Pembangunan Stasiun Pasang Surut InaTEWS’ pada 18 November 2024.
“Indonesia memerlukan banyak data pasut. Maka dari itu, sinergi pengelola dermaga baik Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), maupun pemerintah daerah penting dilakukan. Hal ini agar penyebaran, pemanfaatan, dan pelayanannya bisa lebih optimal,” ujar Plt. Direktur Sistem Referensi Geospasial BIG Bayu Triyogo Widyantoro ketika membuka acara yang digelar di Hotel Novotel Samator Surabaya ini.
Bayu juga berharap FGD ini dapat menghasilkan rekomendasi teknis untuk perbaikan dan pengembangan InaTEWS. Sehingga tercapai kesepakatan bersama atas asas kebermanfaatan, terutama terkait mitigasi bencana.
Senada, Deputi Bidang Informasi Geospasial Dasar BIG, Mohamad Arief Syafii juga mengungkapkan bahwa BIG perlu mendapatkan masukan, saran, dan evaluasi dari instansi mitra pengelola pelabuhan untuk memudahkan proses pembangunan stasiun pasang surut periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.
“Lebih lanjut, guna merencanakan keberlangsungan dan kebermanfaatan data pasut diperlukan pembentukan kepengurusan Konsorsium Pasang Surut (KomPas) Indonesia. KomPas diharapkan menjadi wadah bagi produsen, pengguna, maupun pengelola pelabuhan tempat stasiun pasut berlokasi untuk bersama-sama melakukan diseminasi, inovasi, dan pengembangan teknologi terkait data pasut di Indonesia,” tutur Arief.
Pada forum ini, dipaparkan materi terkait evaluasi sebaran pasang surut dan sinkronisasi ketersediaan dermaga, sebaran pasang surut untuk mendukung mitigasi bencana, serta perumusan kepengurusan KomPas.
Dalam paparannya, Napoleon, Penilik Kepelabuhan dari Ditjen Hubla Kemenhub menyatakan bahwa data pasut yang akurat dari pengamatan pasut dalam jangka waktu lama diperlukan untuk perencanaan pelabuhan.
“Hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan stasiun pasut antara lain mengantisipasi adanya penempatan stasiun pengamat di area yang mengganggu operasional pelabuhan; perangkat pendukung yang dipasang tidak berada pada sisi dermaga yang digunakan untuk proses penambatan kapal; serta perangkat pendukung yang dipasang harus memperhitungkan dimensi dan jarak rencana bangunan dengan posisi lalu lintas kendaraan agar tidak terjadi potensi benturan,” jelas Napoleon.
Napoleon juga menekankan pentingnya kolaborasi Ditjen Hubla dengan BIG. Kolaborasi ini bersifat saling mendukung pembangunan stasiun pasut untuk program InaTEWS. BIG akan melakukan sharing data, prediksi pasut, lokasi stasiun pasut yang telah terbangun, dan rencana pembangunan stasiun pasut dalam RPJMN 2025-2029 kepada Direktorat Kepelabuhanan. Sementara Direktorat Kepelabuhanan akan menyampaikan rencana lokasi pembangunan dan rehabilitasi pelabuhan yang dilaksanakan melalui anggaran Ditjen Hubla Kemenhub.
Sebagai informasi, FGD ini dihadiri oleh mitra pengguna/praktisi lintas sektor, seperti Kemenhub, KKP, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), Pusat Hidro-Oseanografi TNI Angkatan Laut (PushidrosAL), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), PT Pelabuhan Indonesia, dan PT PAL Indonesia.
Selain itu, turut hadir pula perwakilan Dinas Perhubungan Jawa Timur, Dinas Perhubungan Kabupaten Klungkung, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur, serta akademisi dari beberapa universitas di Provinsi Jawa Timur. (LR/IP)