Sejumlah situ di Jabodetabek kini dikelilingi perumahan padat. Bibir situ yang menjulang 3 sampai 20 meter menempatkan permukiman menjadi sasaran terjangan air bah jika situ jebol. Kondisi seperti itu antara lain terlihat di Situ Pedongkelan seluas 6 hektar di Tugu, Cimanggis, Depok.
Menurut pengamatan Kompas hari Sabtu (4/4), Situ Pedongkelan dikelilingi lembah yang dihuni sekitar 2.500 warga RT 05 dan RT 08 di RW 05. Beda ketinggian antara permukiman dan tanggul Situ Pedongkelan bervariasi antara 10 dan 20 meter.
Tak beda jauh dengan situ di Bogor, Situ Lumbu yang berada di Kelurahan Bojong Rawalumbu, Kecamatan Rawalumbu, Kota Bekasi, seolah-olah lenyap. Yang tampak jelas justru timbunan sampah, padahal di dekatnya masih terdapat dua papan pengumuman yang dipasang Pemerintah Kota Bekasi. Pada kedua papan pengumuman itu disebutkan, kawasan itu adalah Situ Lumbu yang luasnya mencapai 23.440 meter persegi.
Sementara itu, tanggul yang ada di Situ Ciledug, Pamulang, Tangerang Selatan, hanya ada di tepi Jalan Siliwangi dan sekitarnya. Dari badan jalan, tinggi tanggul mencapai 1 meter, sedangkan dari tepi situ, tinggi tanggul 1,5 sampai 2 meter. Tanggul yang lebih tinggi berada di sisi utara situ. Tanggul tersebut dibangun sebagai bagian tepi mal Pamulang Square.
Secara umum, konstruksi tanggul itu masih kokoh. Terdapat beberapa retakan rambut di badan tanggul, dan lapisan semen di bagian bawah tanggul yang menghadap jalan banyak yang rusak.
Selain di kawasan yang memiliki tanggul, Situ Ciledug berbatasan langsung dengan tanah yang lebih tinggi.
Beberapa bangunan komersial dan banyak rumah, baik milik penduduk asli maupun perumahan yang dibangun pengembang, berada di tepi Situ Ciledug dengan jarak kurang dari 50 meter.
Kota Tangerang memiliki sembilan situ dengan luas seluruhnya 257 hektar, tetapi kini yang tersisa hanya enam situ dengan luas 152 hektar. Artinya, ada penyusutan luas areal sebanyak 41 persen.
"Berkurangnya luas situ di Kota Tangerang, akan menyebabkan tidak optimalnya fungsi situ sebagai pengendali banjir. Indikatornya sudah jelas, meluasnya lokasi, tinggi dan lamanya genangan banjir di wilayah Kota Tangerang," kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Dadang Durachman.
Menyebar di Jabodetabek
Data hasil penelitian termutakhir Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) menunjukkan, kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi dikepung oleh puluhan situ rusak. Bahkan enam situ di antaranya dinyatakan berpotensi kebencanaan, seperti Situ Gintung.
Kepala Bidang Sumber Daya Lahan Kawasan dan Mitigasi Bencana BPPT Sutopo Purwo Nugroho, akhir pekan lalu, mengungkapkan, keenam situ tersebut adalah Situ Lebak Wangi di Parung, Bogor, yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane, Situ Bekang di DAS Ciliwung, Situ Cibinong, Situ Pondok Benda di Pamulang yang menjadi bagian dari DAS Angke, Situ Kedaung, dan Situ Babakan. "Itu hasil peninjauan yang dilakukan BPPT terhadap 45 situ di Jabodetabek hingga Desember 2008," kata Sutopo.
Sutopo menambahkan, risiko bencana ini dilihat dari berkembangnya permukiman padat di bagian hilir tanggul situ. Umumnya tanggul berada di bagian tengah DAS, sedangkan kawasan permukiman berada di hilir.
Selain pengalihfungsian lahan konservasi di daerah hilir, risiko kebencanaan suatu situ juga dipengaruhi tingginya tingkat elevasi tanggul, penyempitan situ, dan sedimentasi.
Parahnya kondisi situ-situ di Jabodetabek ini diperjelas dari hasil inventarisasi situ-situ di Jabodetabek oleh BBWSCC. Berdasarkan inventarisasi tahun 2007, Jabodetabek masih memiliki 202 situ, tetapi kini tinggal 182 situ.
Dari analisis data inventarisasi situ yang diterima Kompas, Sabtu (4/4), kehilangan 20 situ itu disebabkan alih fungsi lahan yang tidak pada tempatnya. Ada lahan yang dipakai untuk membangun perumahan, jalan tol, menjadi milik perusahaan swasta, milik sekelompok warga, dan ada yang dimiliki perorangan.
Situ Lumbu di Kecamatan Rawalumbu, Kota Bekasi, merupakan salah satu contoh situ yang hilang. Sebelumnya, situ ini termasuk dalam DAS Kali Cileungsi-Kali Cikeas-Kali Bekasi.
Situ-situ yang tersisa pun dalam kondisi mengenaskan. Sebanyak 70 situ dari 182 situ dinyatakan rusak dan tiga situ lainnya dalam kondisi kurang baik. Salah satu indikasi situ dinyatakan rusak adalah terjadi penyempitan pada kawasan tangkapan air sampai lebih dari 75 persen dari luas awal.
Beberapa situ, seperti Situ Cinanangsi atau Wedana di Cikuda, Cimanceuri, Parung Panjang, Bogor, semula membentang seluas 12 hektar, kini tinggal 2,8 hektar. Situ Legoso, Cempaka Putih, Pesanggrahan, Tangerang, sekarang luasnya hanya 0,89 hektar, padahal awalnya mencapai 4 hektar.
Di Bekasi, dari sembilan situ yang didata Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi tahun 2002, terjadi pengurangan luas lahan yang mencolok. Semula luas sembilan situ mencapai 75,7 hektar. Namun, akibat alih fungsi, luas situ menyusut dan tersisa sekitar 51 hektar saja.
Perubahan mencolok terjadi di Situ Cibeureum, Desa Lambang Jaya, Kecamatan Tambun Selatan. Semula situ itu memiliki luas 40 hektar. Akan tetapi, akibat sebagian dikembangkan menjadi kawasan perumahan, luasnya menyusut tinggal 25,1 hektar.
Menjadi daratan
Dalam cakupan kawasan yang lebih luas, yaitu Jawa Barat dan Jabodetabek, penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menghasilkan data serupa. Gadis Sri Haryani dari Pusat Penelitian Limnologi LIPI mengatakan, sepanjang 2007-2009, sekitar 5 persen dari 400 situ di Jawa Barat dan Jabodetabek berubah menjadi daratan.
Kepala BBWSCC Pitoyo Subandrio menolak jika hanya pihak tertentu yang dipersalahkan atas terjadinya bencana seperti di Situ Gintung. Menurut dia, menjaga situ adalah tanggung jawab dan kerja bersama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Hingga akhir 2008, pihaknya telah merehabilitasi 68 situ dari 182 situ yang tersisa. Pascabencana Situ Gintung, BBWSCC juga menginventarisasi kembali kondisi situ lain. "Namun, semua program itu akan berhasil jika didukung instansi lain. PU hanya bertanggung jawab pada sisi teknis pembangunannya," kata Pitoyo.
Pitoyo juga menyinggung soal maraknya pembangunan perumahan baru di kawasan konservasi situ yang memiliki izin resmi, bahkan dilengkapi sertifikat tanah asli.
Mengapa banyak pihak sekakan-akan abai terhadap situ-situ yang seharusnya dijaga dan dipelihara?
Sosiolog Imam Prasodjo yang dihubungi hari Minggu mengatakan, pemerintah memang telah membuat regulasi perawatan dan penjagaan, bahkan mencegah pengambilalihan lahan situ, tetapi sering kali pelaksanaan di lapangan tidak konsisten. "Mereka tidak merawat secara konsisten. Pemerintah hanya bergerak jika ada anggaran," ujar Imam.
Karena keterbatasan pemerintah dalam menjaga aset seperti situ, seharusnya pemerintah bisa membentuk dan mengorganisasikan kekuatan masyarakat untuk ikut terlibat dalam penjagaan. Cara pemberdayaan masyarakat sipil ini, selain lebih murah, juga lebih efektif.
"Pengorganisasian kekuatan masyarakat ini harus didorong, dibina, didampingi, dan dibiayai oleh pemerintah. Setelah jadi, pemerintah tinggal memberi contoh. Jangan sampai justru pemerintah yang memelopori perusakan aset itu," kata Imam menegaskan.
Peristiwa di Situ Gintung, kata Imam, bisa menjadi momentum untuk memperbaiki kesalahan sosial yang selama ini kerap terjadi. "Masyarakat bisa dibentuk menjadi sebuah kekuatan untuk menjaga keberadaan aset-aset publik," tutur Imam.
Sumber: cetak.kompas.com