Sumber: Koran Republika , 26 Desember 2006
Gempa bumi dan longsor, kini nyaris telah menjadi bencana 'keseharian' Indonesia. Dua hari setelah longsor menimpa Kabupaten Solok yang menewasan 18 orang, gempa mengguncang Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Senin (18/12) dini hari, gempa dengan kekuatan 5,6 skala Richter itu menyebabkan empat orang tewas dan ratusan rumah hancur. Dari catatan BMG, gempa yang mengguncang Madina adalah gempa ketujuh selama Desember 2006.
Sebelumnya gempa skala kecil sampai medium telah mengguncang Bengkulu (13/12), Banda Aceh (13/12), Bengkulu (10/12), Bengkulu (10/12), Banda Aceh (9/12), Tebing Tinggi (1/11), dan terakhir Madina (18/12). Ketiga gempa di Bengkulu dan Banda Aceh tersebut ternyata pusat gempanya berbeda-beda. Semua ini menunjukkan Pulau Sumatera memang berada di zona yang rawan gempa.
Menurut pakar gempa bumi LIPI, Dr Danny Hilman, gempa Madina ini kemungkinan besar merupakan pertanda akan munculnya gempa yang lebih besar lagi di kawasan Sumatera Utara, tepatnya di segmen patahan atau sesar Angkola, sebelah barat sumber gempa Madina. Disebut sesar Angkola karena sesar ini memotong Sungai Angkola dan jarak sesar ini sekitar 250 km selatan Danau Toba. Segmen patahan Angkola ini sudah 'matang' --artinya sewaktu-waktu bisa melepaskan energinya, yang berarti akan menimbulkan gempa. Tingkat kematangan itu, kata Danny, berkaitan dengan mekanisme kegempaan di Sumatera yang mempunyai periode 100 tahun sampai 200 tahun. Apalagi pada segmen patahan Angkola tersebut terdapat tekanan yang amat kuat dari Lempeng Australia terhadap Lempeng Eurasia. Ini artinya, besar kemungkinan, germpa Madina --ungkap Danny-- merupakan awal dari munculnya gempa yang lebih besar.
UU Tata Ruang
Pernyataan Danny tentang kemungkinan timbulnya gempa besar di Sumatera perlu mendapat perhatian serius. Kita masih ingat setelah gempa dahsyat Aceh yang menimbulkan tsunami raksasa, ratusan gempa skala kecil dan menengah terus menyusul di Aceh dan sekitarnya. Hal ini terjadi karena di kawasan itu terdapat Sesar Sumatera yan panjangnya 1.600 km yang amat rawan gempa. Dari berbagai penelitian, di kawasan Pulau Sumatera setiap 10 tahun ada gempa besar. Terakhir, sebelum Aceh, adalah gempa di Liwa, Lampung, 1994, yang menewaskan ratusan orang.
Dengan melihat kondisi alam seperti itu, mestinya pemerintah memperkuat lembaga yang berfungsi melakukan mitigasi (untuk serlanjutnya disebut lembaga mitigasi) bencana gempa dan ikutannya seperti longsor dan tsunami di Pulau Sumatera. Ini penting untuk mengurangi jumlah korban gempa dan mengurangi kepanikan penduduk bila sewaktu-waktu muncul gempa besar. Lembaga mitigasi tersebut tentu saja harus bekerja sama dengan semua stake holder untuk membangun kebersamaan dan kesiapan menghadapi bencana. Salah satu hal yang terpenting dalam lembaga mitigasi tersebut adalah penataan kembali ruang untuk kehidupan masyarakat. Ini artinya, pemerintah dan DPR sangat perlu untuk membuat UU Tata Ruang (UUTR) yang komprehensif dan integratif untuk meminimalisasi jumlah korban yang mungkin timbul.
Seperti kita ketahui, Indonesia adalah sebuah negeri kepulauan yang rentan bencana gempa. Ini terjadi karena Indonesia terletak pada sabuk gunung berapi yang terbentuk oleh pertemuan lempeng-lempeng bumi. Sabuk gunung berapi aktif ini dibentuk oleh tumbukan lempeng Indian-Australia di sebelah selatan, lempeng Eurasia di sebelah utara barat, lempeng laut Filipina dan lempeng Pasifik di sebelah utara timur. Pergerakan ketiga lempeng ini menyebabkan Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam yang diakibatkan aktivitas di dalam bumi seperti gempa bumi dan gunung meletus.
Dari perspektif inilah, pemerintah harus menyusun UUTR secara komprehensif dengan melihat faktor-faktor geologis dan geofisis Indonesia. Dalam penyusunan UUTR tersebut, misalnya, perlu diperhatikan tata ruang berbasis bencana. Ini artinya, UUTR tersebut harus mempertimbangkan peta geo-spasial yang meliputi aspek geologi, penyebaran penduduk, dan garis patahan lempeng bumi. Dalam kaitan ini, misalnya, undang-undang tata ruang pusat perekonomian, lokasi permukiman, daerah perkantoran, dan kawasan industri harus mengacu pada peta geo-spasial.
Seperti kita ketahui, ruang adalah suatu sumber daya yang dapat dimanfaatkan secara umum oleh seluruh stake holder. Karena itu, jika tak ada pengaturan tata ruang, maka akan terjadi apa yang disebut tragedy of common. Ruang akan tereksploitasi habis-habisan melampaui daya dukung dan daya lentingnya sehingga tidak ada manfaat yang dapat dinikmati bersama lagi --bahkan sebaliknya mendatangkan bencana yang dahsyat terhadap komunitas dan lingkungannya. Kasus rumah-rumah yang tertimbun longsor seperti pernah terjadi di Jember, Banyumas, Garut, dan terakhir di Solok merupakan contoh tidak berfungsinya manajemen tata ruang untuk permukiman dan kegiatan perekonomian.
Mengingat Indonesia adalah negeri rawan bencana, maka penataan ruang tersebut harus dilakukan atas dasar peta geo-spasial yang mengacu berbagai aspek ilmu kebumian. Dalam kaitan ini, misalnya, perlu dipikirkan ruang-ruang yang merupakan public space untuk berbagai keperluan penduduk. Public space itu bukan sekadar ruang hijau, tapi juga ruang-ruang publik tertentu untuk penyelamatan dari bencana alam.
Hal yang sama, misalnya, perlu dipikirkan pula penataan ruang di wilayah rawan longsor. Sebab gempa bumi dan banjir bisa menyebabkan wilayah-wilayah rawan longsor terkena bencana (longsor) yang menimbulkan banyak korban. Gambaran tersebut hanya contoh, betapa pentingnya pengaturan tata ruang di Indonesia yang rawan bencana. Karenanya, UUTR yang kini sedang dalam penggodogan di DPR harus diperluas cakupannya meliputi semua aspek yang terkait dengan posisi geografis, geologis, dan geofisis Indonesia. Dan yang lebih penting lagi, jika UUTR tersebut terbentuk, semua stake holder harus menaatinya tanpa kompromi. Tanpa adanya ketaatan pada UUTR secara tegas dan ketat, maka tak ada artinya semua pasal dan ayat dalam undang-undang tersebut.
Wahyudin Munawir
Alumnus Geofisika ITB, Anggota Komisi VII DPR RI