Oleh Eko Budihardjo
Berbagai provinsi, seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bali, telah memilih gubernur baru dan wakilnya. Menyusul provinsi lain di segenap pelosok Tanah Air.
Terkait hal itu, masalah krusial yang perlu mendapat perhatian para gubernur dan wakil gubernur baru, salah satunya, adalah pemekaran wilayah.
Sekadar contoh, beberapa waktu lalu muncul gagasan untuk memekarkan Provinsi Jawa Tengah dengan membentuk provinsi baru eks Karesidenan Banyumas. Belum hilang gaungnya, muncul usul provinsi baru eks Karesidenan Surakarta. Di Provinsi Jawa Barat juga terdengar gagasan "pemekaran", membentuk provinsi baru Cirebon.
Istilah "pemekaran" seolah sudah menjadi semacam mantra, atau virus, yang menyebar ke segenap pelosok Nusantara. Di luar pulau Jawa, sesudah Provinsi Papua dimekarkan dengan provinsi baru Papua Barat sudah muncul usul untuk dimekarkan lagi menjadi provinsi Papua Barat Daya, Papua Selatan, dan Papua Tengah. Di Aceh juga muncul tuntutan serupa, pemekaran Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan membentuk provinsi baru Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (Abas).
Penciutan wilayah
Terminologi "pemekaran" sebetulnya merupakan istilah yang salah kaprah. Bisa masuk Kelirumologi-nya Jaya Suprana. Soalnya yang terjadi sebenarnya bukan pemekaran, tetapi lebih tepat penciutan atau penyempitan wilayah. Satu provinsi dipecah-pecah menjadi beberapa provinsi.
Dalih yang biasa dipakai adalah usul pemekaran merupakan aspirasi rakyat karena merasa kurang diperhatikan, akibat rentang kendali yang terlalu jauh, atau kendala geografis sehingga rakyat tidak bertambah sejahtera. Ada pula yang usulannya disertai pernyataan berbau intimidasi, "Jika pemekaran provinsi yang kami usulkan tidak dipenuhi, para kepala desa siap mogok. Yang akan terjadi adalah pemekaran negara seperti Timor-Timur".
Perlu diketahui, sejak reformasi tahun 1998 hingga pertengahan 2008, setidaknya telah disetujui pembentukan 191 daerah baru, terdiri dari tujuh provinsi, 32 kota, dan 152 kabupaten. Paling banyak ada di Pulau Sumatera dengan 69 daerah baru, disusul Sulawesi (34 daerah baru), dan Papua (27 daerah baru). Daftar antrean usul pembentukan daerah baru masih panjang.
Padahal, merujuk penelitian harian Kompas (11/2/2008), pembentukan provinsi kabupaten dan kota baru ternyata lebih menguntungkan elite politik dan birokrasi ketimbang masyarakat (62 persen). Kondisi perekonomian masyarakat, pengelolaan sumber daya alam, stabilitas politik, dan penegakan hukum tidak lebih baik ketimbang sebelumnya. Demikian pula dengan pelayanan publik yang menyangkut kependudukan, pertanahan, kegiatan usaha, kesehatan, pendidikan, peribadatan, keamanan dan ketertiban lebih buruk daripada sebelumnya, atau sama saja. Sama sekali tidak tampak perbaikan yang signifikan, kendati tidak boleh dipukul rata.
Prosedural dan substansial
Dalam disiplin ilmu perencanaan wilayah, dikenal dua persyaratan yang merupakan conditio sine qua non, yaitu yang bersifat prosedural dan substansial. Keduanya harus terpenuhi, ibarat kaki kanan dan kaki kiri.
Secara prosedural, misalnya menyangkut aspirasi masyarakat setempat dan persetujuan gubernur berdasar hasil kajian daerah. Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, ketentuan yang bersifat prosedural sudah dicantumkan secara rinci. Sayang, dalam ketentuan tentang kajian daerah hanya disebutkan, tim pengkaji dibentuk oleh kepala daerah bersangkutan. Adapun penelitian dari menteri atas usul pemekaran dilakukan oleh tim yang dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi atau lembaga lainnya.
Perlu diketahui, R & D yang di mancanegara berarti research & development, di Tanah Air berarti rust & dust (berkarat dan berdebu), atau real dumb (sungguh pandir). Kenyataan di lapangan menunjukkan, penelitian yang dilakukan sekadar merupakan penelitian pesanan. Bahkan, ada peneliti-peneliti yang dituding melakukan pelacuran intelektual (intellectual prostitution) karena alih-alih mengungkap kebenaran, mereka hanya menyuguhkan pembenaran atau justifikasi.
Tidak kalah penting adalah yang menyangkut aspek substansial. Dalam buku Pendekatan Sistem dalam Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Gadjah Mada University Press, 1996), saya mengemukakan tiga aspek besar yang harus diperhatikan.
Pertama, yang menyangkut perencanaan fisik dan tata ruang, antara lain tata guna lahan, transportasi dan infrastruktur.
Kedua, menyangkut perencanaan sumber daya, antara lain sumber daya alam, keuangan, manusia, kelembagaan, dan teknologi.
Ketiga, mencakup perencanaan komunitas, antara lain kohesi sosial, keberagaman budaya, kependudukan, pertahanan, dan keamanan.
Usul pembentukan daerah baru, yang sebenarnya berarti penciutan wilayah, harus mengungkap kajian tentang ketiga subsistem itu agar nantinya betul-betul dapat meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat di daerah yang bersangkutan.
Saya amat merekomendasikan agar tim yang ditugasi melakukan kajian daerah dan penelitian pemekaran dipersyaratkan berasal dari kalangan ilmuwan dan profesional andal yang betul-betul independen. Maksudnya agar hasil yang diperoleh bisa dipertanggungjawabkan, bukan sekadar legitimasi politik dagang sapi.
Sementara ini, menjelang gawe besar pemilihan presiden 2009, kita nyatakan saja dulu, moratorium pemekaran atau penciutan daerah, sambil menunggu hasil pilpres dan wakil rakyat yang sungguh-sungguh representatif.
EKO BUDIHARDJO Guru Besar Arsitektur dan Perkotaan Undip; Ketua Forum Keluarga Kalpataru Lestari (Fokkal)
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/19/01100622/pemekaran.atau.penciutan.wilayah