Pulau adalah unsur rupa bumi yang berkontribusi terhadap struktur geografi suatu wilayah negara. Bahkan pulau juga menentukan volume wilayah suatu negara kepulauan, seperti Indonesia.
Untuk Indonesia, penamaan pulau amat penting dalam konteks pulau-pulau terluar (outermost islands) sesuai dengan United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982.
Sementara itu, untuk kepentingan pengelolaan, dibutuhkan identitas jelas dan sah alias diakui negara. Jadi penamaan pulau merupakan bagian dari tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Wujud belum tertibnya administrasi perpulauan kita tampak dari fakta: 60 persen pulau kita belum bernama serta tidak ada dokumen resmi berkekuatan hukum yang mengukuhkan jumlah dan nama pulau yang terpublikasi selama ini. Konsekuensi logis, muncul perbedaan jumlah pulau yang terungkap dalam pidato-pidato pejabat pemerintah ataupun pemerintah daerah, bahkan pidato presiden. Kebanyakan menyebut sekitar 17.000 pulau. Yang sekarang sudah terhitung ada sekitar 13.000.
Menamakan pulau ibarat mengaktalahirkan anak. Perlu prosedur tertentu. Tujuannya adalah mengukuhkan kejelasan status anak/pulau dengan orangtua/pemiliknya. Untuk pulau, tentu mengukuhkan kepemilikan ibu pertiwi alias Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan dengan nama, jumlah pulau dapat diketahui dengan pasti asalkan administrasinya tertata dengan baik.
Cara menamakan
Nama pulau tak dapat didikte oleh pemerintah ataupun pemerintah daerah karena ada prosedur tetap secara internasional. Syaratnya, setiap pulau harus dikunjungi sesuai dengan Resolusi PBB via United Nation Group of Expert on Geographical Names (UNGEGN) Nomor 4 Tahun 1967 Rekomendasi B dan C tentang pengumpulan nama-nama rupa bumi dan pemrosesan datanya.
Sebagai contoh, nama pulau dianggap sah jika diucapkan oleh masyarakat lokal minimal dua orang. Jadi setiap pulau yang didatangi, tokoh adat/masyarakat penghuni harus diwawancarai soal nama dan diverifikasi dengan anggota masyarakat lain di pulau itu atau tetangganya. Karena pengucapan nama pulau dipengaruhi bahasa lokal, ucapan nama direkam dengan tape recorder atau handycam. Untuk memperkuat ejaan, masyarakat kadang diminta menuliskan sendiri nama pulaunya. Selanjutnya posisi dipetakan dan data penunjang lainnya dikumpulkan. Data dikelompokkan per kabupaten/kota sampai suatu provinsi.
Ilmu yang mempelajari obyek studi tentang toponim secara umum dan nama geografis secara khusus, menurut Raper (1996), disebut toponimi (dalam bahasa Inggris: toponimy). Toponim (toponym) terdiri dari dua kata, yaitu topos artinya 'tempat' dan nym dari onyma artinya 'nama'. Secara nasional, digunakan istilah "nama rupa bumi".
Setiap nama rupa bumi selalu terdiri dari dua bagian, seperti "Pulau Marore", yaitu "Pulau" adalah nama generik, sedangkan "Marore" adalah nama spesifik (nama diri), juga Gosong Niger, Teluk Tomini, Selat Makassar, Laut Arafura, dan sebagainya.
Pakar toponim di Indonesia dapat dihitung dengan jari. Prof Jacub Rais dari Institut Teknologi Bandung salah satunya. Kini diupayakan ilmu ini masuk ke dalam kurikulum di universitas.
Koordinasi efektif
Untuk mengakhiri pro-kontra jumlah pulau tersebut di atas, enam instansi pemerintah, terdiri dari Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Dalam Negeri, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Departemen Luar Negeri, Departemen Pendidikan Nasional, serta Jawatan Hidro-oseanografi TNI AL, bersepakat melakukan gerakan nasional tertib administrasi perpulauan Indonesia melalui tim nasional pembakuan nama rupa bumi yang diketuai Menteri Dalam Negeri.
Proses dimulai tahun 2005 mencakup enam tahapan, yaitu persiapan data sekunder, sosialisasi dan workshop di daerah, kerja lapangan, pengolahan data, pembakuan nama dan pembuatan daftar nama pulau (gazetir), serta terakhir mendepositkan nama-nama pulau ke PBB.
Pembakuan itu melibatkan tim toponim nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan tokoh masyarakat dari daerah bersangkutan. Proses ini diakhiri dengan penandatanganan berita acara oleh semua pihak.
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil telah melakukan survei di seantero wilayah NKRI dalam tiga tahun dan menghabiskan anggaran hampir Rp 6 miliar. Data ini menjadi bahan penting untuk proses pembakuan nasional ataupun internasional.
Output agenda ini, akhir Agustus 2007, telah mendepositkan 4.981 nama pulau ke PBB pada "The 9th United Nations Conference on the Standardization of Geographical Names (UNCSGN)" di New York, AS. Event ini dilaksanakan setiap lima tahun. Pada pendepositan selanjutnya, tahun 2012, semua nama pulau di Indonesia sudah dapat dipastikan didepositkan karena pembakuan nasional di 33 provinsi selesai tahun depan.
Setelah gazetir (daftar nama pulau) selesai data tersebut akan dikukuhkan dengan suatu peraturan pemerintah (PP) yang sedang diinisiasi oleh Departemen Dalam Negeri bersama tim nasional, yang lalu dikonsultasikan kepada publik sebelum data pulau yang dibakukan itu dilegalkan. Langkah yang sama akan ditempuh untuk nama rupa bumi kelautan yang lain, seperti gosong, teluk, selat, dan tanjung.
Untuk pulau, saat ini sudah pada tahap pembakuan dengan capaian hampir 100 persen. Pekerjaan survei yang belum diselesaikan adalah di Provinsi Maluku, Kabupaten Kepulauan Aru, karena masalah cuaca. Namun, akan diselesaikan oleh pemerintah daerah provinsi sebelum akhir tahun ini.
Pada saat semua selesai pro-kontra jumlah pulau akan berakhir. Sekaligus akan terjadi keseragaman data di pusat ataupun daerah untuk kepentingan nasional kita ke depan.
Oleh: ALEX RETRAUBUN, Alumnus PPRA 42 Lemhannas RI dan Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, DKP
Sumber: cetak.kompas.com