Ekspedisi Geografi Indonesia VI Sumatera Utara 2009
Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara dan kota terbesar di Pulau Sumatera, menyimpan kemajemukan budaya yang unik. Kota di pesisir timur Sumatera ini telah menggeliat menjadi metropolitan, dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat dari tahun ke tahun (hasil sensus 2005 berjumlah 2.036.018 jiwa).
Jika ditilik dari beberapa referensi, terdapat lebih dari satu asal nama Medan. Medan dapat diartikan ‘Medina', kota di Arab Saudi, tempat Nabi Muhammad SAW melakukan hijrah. Asal kata tersebut merupakan catatan Bangsa Portugis ketika bersandar di wilayah ini pada abad ke-16.
Asal kata lainnya, Medan berasal dari ‘Meiden', yaitu Bahasa Batak Karo yang berarti menjadi lebih baik. Menurut sejarah pula, Kampung Medan memang dibuka oleh orang Batak Karo bernama Guru Patimpus pada tahun 1590-an.
Namun, dari hasil diskusi Tim Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI)dengan beberapa narasumber, Medan memiliki makna tanah datar yang lapang di antara dua sungai utama, yaitu Sungai Deli dan Babura.
Entah mana yang benar-benar tepat, Medan pun kini semakin menjadi dewasa.
Keberadaan Medan sebagai wilayah yang ramai tak lepas dari campur tangan Sultan Iskandar Muda dari Aceh yang berjaya saat itu. Sultan Aceh mengirimkan salah seorang panglima terbaiknya, yaitu Panglima Gocah Pahlawan, untuk menaklukan wilayah Medan yang banyak didiami oleh orang Batak Karo.
Sebagai representasi Aceh di Tanah Deli, didirikanlah Kesultanan Deli dengan sultan pertamanya Tuanku Panglima Gocah Pahlawan, pada tahun 1623. Kejayaan Deli pun masih dapat kita saksikan hingga saat ini, yaitu Istana Maimun dan Masjid Raya Al-Mahsun. Kedua bangunan monumental itu didirikan oleh sultan ke-9 Kerajaan Deli, Sultan Ma'mun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah, pada awal abad ke-20.
Pada saat itu, Medan telah menjadi kota niaga yang berkembang pesat. Hubungan raja dengan asing (Belanda) untuk membuka lahan tembakau, semakin meramaikan lalu lintas barang di kota ini. Tembakau Deli pun dikenal luas sebagai tembakau kelas 1 karena ditanam di lahan yang sangat cocok, demikian setidaknya papar Profesor Abdul Rauf dari Universitas Sumatera Utara (USU), saat diskusi dengan Tim EGI 2009 Sumatera Utara (Selasa, 19 Mei 2009).
Hingar bingar perdagangan di Medan pun tidak dilakukan sendiri oleh Kesultanan Deli. Selain Belanda sebagai pemilik modal, orang Jawa turut serta didatangkan ke Tanah Deli sebagai tenaga ahli di bidang pertanian tembakau, sedangkan orang China sebagai pemasarannya. Suatu kolaborasi etnis yang hingga kini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Medan.
Tjong A Fie adalah pelopor etnis China untuk membangun Medan. Pada awal abad ke-19, jiwa muda Tjong A Fie membawanya untuk merantu hingga ke Tanah Deli. Di sini, dengan dibantu oleh saudaranya Tjong Yong Hian, A Fie melakukan perdagangan dengan penduduk setempat. Kesuksesannya dalam niaga menarik hati Pemerintah Belanda untuk mengangkatnya sebagai Walikota (semacam itu sekarang-red) yang khusus mengurusi komunitas China di Medan. Selain itu, Kekaisaran China pun memberi kepercayaan kepada A Fie sebagai Duta Besar untuk wilayah Indonesia.
Kemajemukan Medan di masa lalu inilah yang telah menjadi cikal bakal perkembangan Medan dewasa ini. Bukan hanya etnis lokal (Batak) dan Melayu saja, tetapi orang Jawa, China, India dan lainnya, telah bahu membahu membangun Medan, hingga menjadikan kota terbesar ke-4 di Indonesia ini semakin menggeliat.
Catatan kota tua Medan merupakan awal dari perjalanan Ekspedisi Geografi Indonesia ke-6, yang mengambil kajian Provinsi Sumatera Utara. Perjalanan yang diawali pada tanggal 19 Mei 2009, dilakukan untuk mengamati fenomena geografi pada suatu trase atau rute tertentu. Fenomena itu meliput abiotik, biotik, kultur, dan dampak lingkungan yang diakibatkan dari interaksi ketiga unsur tersebut.
Untuk kesekian kalinya BAKOSURTANAL pun memberikan sumbangan nyata kepada daerah untuk mengangkat potensi wilayahnya.
Oleh Agung Christianto