Bagi NKRI yang merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.466 pulau, dengan luas daratan sekitar 1.910.000 km2, luas lautan lebih kurang 6.279.000 km2 dan berbatasan dengan 10 negara, maka pendataan kondisi dan potensi wilayah menjadi IG yang andal (akurat, dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan) merupakan hal yang mutlak dilakukan. Namun dalam implementasinya, untuk memperoleh IG yang andal tersebut bukan merupakan pekerjaan yang mudah, mengingat masih adanya berbagai kendala terkait dengan pelaksanaan koordinasi, keterbatasan sumber daya, infrastruktur dan suprastruktur, biaya, teknologi, metodologi, serta kondisi geografis itu sendiri.
Menyadari akan pentingnya data dan informasi spasial, telah diundangkan UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (UU-IG). Di dalam UU-IG disebutkan bahwa IG harus dijamin kemutakhiran dan keakuratannya serta diselenggarakan secara terpadu. Hal ini menjadi asas, dengan tujuan untuk menghindari adanya kekeliruan, kesalahan, dan tumpang tindih informasi yang berakibat pada ketidakpastian hukum, in-efesiensi anggaran, dan in-efektivitas informasi yang dihasilkan. IG tersebut pada dasarnya harus bersifat terbuka dan harus mudah diakses oleh para pengguna/masyarakat. Dalam UU-IG disebutkan bahwa IG terdiri dari Informasi Geospasial Dasar (IGD) dan Informasi Geospasial Tematik (IGT). Dalam Pasal 22 (2) disebutkan bahwa penyelenggaraan IGD dilakukan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG).
BIG tersebut sebagai pengganti Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 22 (1) UU-IG. Pergantian Bakosurtanal menjadi BIG bukan sekedar perubahan nama, namun perubahan dan perluasan tugas dan fungsi dimana BIG berperan sebagai lembaga yang menjalankan fungsi pembinaan IGD dan pembangunan IGT.
Selama ini ada yang hilang didalam Perencanaan Pembangunan Nasional dimana data dan informasi spasial belum dimanfaatkan dengan maksimal sebagaimana pemanfaatan data statistik. Begitu juga dengan anggaran yang dikucurkan untuk membangun data statistik sangatlah besar, hal ini berbanding terbalik dengan anggaran untuk membangun data spasial yang minim. Seharusnya data dan informasi spasial dapat juga digunakan sebagai dasar pembangunan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Kombinasi data spasial dan data non spasial dimanfaatkan untuk mengetahui keadaan dan Potensi di masyarakat. Hal tersebut di kemukakan Wakil Menteri Negara PPN/ Wakil Kepala Bappenas, Lukita Dinarsyah Tuwo ketika membuka Rapat Koordinasi Penyusunan Rencana Aksi Nasional Informasi Geospasial, yang diselenggarakan pada hari kamis, 22 Mei 2012 di Hotel Le Meridien, Jakarta.
Kesepakatan Rencana Aksi Nasional ini menjadi agenda bersama yang harus diperjuangkan dan direalisasikan secara bersama-sama, sehingga secara nasional terwujud sinergitas dalam penyelenggaraan, penganggaran, dan pemanfaatan IG. Dimana dalam jangka pendek dan menengah, Rencana Aksi Nasional ini akan menjadi masukan untuk RPJMN 2010-2014 yang memang akan direview pada tahun 2012 ini. Sedangkan untuk jangka panjang, Rencana Aksi Nasional sangat diperlukan sebagai masukan perumusan kebijakan dan program strategis penyelenggaraan IG secara nasional sampai dengan tahun 2025.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Informasi Geospasial, Asep Karsidi juga menyampaikan harapannya agar Rencana Aksi Nasional dapat disahkan oleh Presiden atau Menteri Koordinator Perekonomian seperti lazimnya Rencana Aksi Nasional yang lain. Dengan demikian dapat menunjukan ke khalayak ramai bahwa Para Insan yang bergerak di bidang Geospasial dapat menghasilkan Informasi Geospasial yang berkualitas.
Kesepakatan Rencana Aksi Bersama ini kemudian di tandatangani oleh perwakilan dari masing-masing kementerian, Lembaga,dan Angkatan diantaranya Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pertanian, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian PPN/BAPPENAS, TNI AU, TNI AL, TNI AD, LAPAN, BSN, BNPP, BPN, BNPB dan tentunya BIG.
Oleh: Tommy Nautico