Kamis, 14 November 2024   |   WIB
en | id
Kamis, 14 November 2024   |   WIB
BIG Kejar Peningkatan Akurasi Model Geoid Indonesia

Banggai, Berita Geospasial - Kebutuhan akan peta dasar skala besar untuk wilayah Indonesia sudah sangat mendesak. Hingga 2023, ketersediaan peta dasar skala 1:5.000 baru mencapai 2,57% dari seluruh wilayah Indonesia. Salah satunya upaya percepatan yang dilakukan Badan Informasi Geospasial (BIG) adalah menyelenggarakan survei dan pengukuran gaya berat relatif teristris, yang dilaksanakan oleh Pusat Jaring Kontrol Geodesi dan Geodinamika (PJKGG) pada 14-31 Maret 2024 di Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.

“Data yang dihasilkan pada survei ini akan dimanfaatkan sebagai data utama dalam pemodelan Geoid Indonesia. Model ini menjadi sistem referensi geospasial vertikal nasional yang bersifat tunggal (single reference) dalam penyelenggaraan Informasi Geospasial (IG),” terang Arisauna Maulidyan Pahlevi, Koordinator Jaring Kontrol Gaya Berat dan Geoid PJKGG BIG yang ditemui di sela-sela survei.

Pemodelan geoid ini, lanjut Pahlevi, sangat penting untuk meningkatkan akurasi peta dasar dan IG lainnya; mempermudah integrasi data geospasial dari berbagai sumber; serta mendukung berbagai aplikasi geospasial, seperti navigasi, sistem informasi geografis (SIG), dan penginderaan jauh.

“Survei dan pengukuran gayaberat relatif yang dilakukan oleh PJKGG merupakan upaya densifikasi (perapatan) data gayaberat di seluruh wilayah Indonesia. Survei dan pengukuran gayaberat relatif dapat dilakukan dengan beberapa metode, salah satunya metode teristris. Metode ini dilakukan dengan mengukur nilai geopotensial di titik pengukuran secara langsung di lapangan menggunakan instrumen gravimeter relatif teristris,” papar Pahlevi.

Pahlevi juga menambahkan bahwa hasilnya berupa model geoid yang lebih teliti, karena ada densifikasi data gaya beratnya. Sementara Pulau Sulawesi sendiri dipilih menjadi fokus percepatan pemetaan skala besar, sesuai program prioritas pemerintah. Sruvei yang dilaksanakan selama kurang lebih 3 minggu tersebut rencananya akan dilakukan terutama di kota-kota besar.

“Kenapa hanya di kota besar? Karena hampir di seluruh wilayah Indonesia sudah dilakukan pengukuran menggunakan airborne gravity, jadi pengambilan data gaya beratnya itu lewat pesawat. Namun dibanding lewat pesawat, resolusinya lebih teliti ketika kita melakukan pengukuran secara langsung menggunakan teristris seperti ini. Karena di kota-kota besar perlu menggunakan geoid yang lebih teliti,” tandas Pahlevi.

Sebagai informasi, survei dan pengukuran gaya berat relatif teristris terdiri atas dua kegiatan utama, yaitu pengukuran gaya berat relatif teristris dan pengamatan posisi berbasis Global Navigation Satellite System (GNSS) di titik pengukuran. Pengukuran gaya berat relatif teristris bertujuan untuk memperoleh bacaan nilai gravimeter yang menunjukkan geopotensial di titik pengukuran, sedangkan pengamatan posisi berbasis GNSS bertujuan untuk mendapatkan nilai koordinat geodetik titik pengukuran. (FRH/LR)