Selasa, 03 Desember 2024   |   WIB
en | id
Selasa, 03 Desember 2024   |   WIB
Transformasi Koordinat Batas Negara Indonesia, BIG Gelar FGD Penyesuaian Sistem Referensi

Jakarta, Berita Geospasial – Badan Informasi Geospasial (BIG) menggelar Focus Group Discussion (FGD) Transformasi Koordinat Batas Negara Indonesia pada Jumat, 15 November 2024 di Jakarta. Acara ini bertujuan untuk menyeragamkan sistem koordinat yang digunakan antar negara pada satu referensi yang sama.

“Perjanjian batas negara Indonesia dengan negara-negara tetangga, baik darat maupun maritim, memiliki sistem referensi yang berbeda-beda. Maka dengan itu, untuk menyajikan seluruh batas negara Indonesia pada peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), perlu dilakukan penyeragaman sistem referensi pada satu sistem, yaitu Sistem Referensi Geospasial Indonesia (SRGI),” ujar Direktur Pemetaan Batas Wilayah dan Nama Rupabumi (DPBWNR) BIG, Khafid, pada pembukaan acara.

Khafid menjelaskan bahwa beberapa perjanjian batas negara disepakati sebelum adanya sistem yang global seperti World Geodetic System 1984 (WGS84), seperti halnya batas Indonesia dengan Malaysia disepakati.

Pada beberapa perjanjian lama, referensi yang digunakan ialah referensi international ellipsoid, sedangkan perjanjian baru sudah mengadopsi WGS84 dengan epoch yang disepakati. Lain lagi dengan batas darat Indonesia dengan Papua Nugini, yang disepakati menggunakan pengamatan astronomis.

“Dua dekade terakhir, perjanjian batas selalu didefinisikan pada sistem referensi WGS84. Namun, untuk keperluan di dalam negeri, seperti Peta NKRI, seluruh data batas negara dan juga batas wilayah administrasi harus disajikan dalam satu referensi yang kita miliki SRGI 2013,” ungkap Khafid.

FGD ini menghadirkan dua narasumber akademisi dari perguruan tinggi di Indonesia yaitu: Ira Mutiara Anjasmara dari Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya dan Kosasih Prijatna dari Institut Teknologi Bandung.

Dalam sesi presentasi, Ira Mutiara Anjasmara memaparkan bahwa transformasi koordinat perlu memahami dua hal yaitu transformasi koordinat antar sistem koordinat dan transformasi antar datum.

“Model transformasi koordinat tiga dimensi menggunakan tujuh parameter, yaitu tiga rotasi, tiga translasi dan satu faktor skala, dengan minimal tiga titik sekutu. Akan tetapi, penggunaan titik sekutu yang lebih banyak, akan mendapatkan ukuran lebih, sehingga mendapatkan akurasi yang lebih baik. Akurasi transformasi bergantung pada metode yang dipilih, jumlah, dan distribusi titik sekutu,” ucapnya.

Lebih lanjut, Kosasih Prijatna, mengatakan bahwa dalam geodesi, koordinat dapat dinyatakan dalam dua model bumi yaitu geoid (permukaan ekuipotensial gaya berat) dan ellipsoid (model bumi ideal). Geoid lebih akurat namun kompleks, sedangkan elipsoid lebih sederhana dan fleksibel. Nilai koordinat pengamatan astronomis pada dasarnya sudah bereferensi pada geoid, sehingga untuk dapat mengubah nilai koordinat tersebut pada datum model ellipsoid dibutuhkan nilai defleksi vertikal.

“Defleksi vertikal adalah perbedaan antara normal geoid dan normal ellipsoid di suatu titik. Dengan mengetahui defleksi vertikal, kita dapat mengkonversi koordinat antara kedua sistem tersebut,” tutur Kosasih.

Selain akademisi, FGD ini juga dihadiri oleh para pemangku kepentingan terkait batas negara, yaitu perwakilan dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Mabes
Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut, dan Pusat Hidro-Oseanografi Angkatan Laut.

Tindak lanjut dari FGD ini adalah BIG melalui DPBWNR akan mengambil langkah-langkah taktis dan komprehensif untuk melakukan penyeragaman sistem koordinat seluruh data batas negara pada SRGI 2013. (SMN/ YOS-APP/LR)