Jakarta, Berita Geospasial – Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Muh Aris Marfai turut menghadiri Festival Lingkungan Iklim Kehutanan dan Energi EBT (LIKE) 2023 yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Indonesia Arena pada Senin, 18 September 2023. Festival ini merupakan wujud komitmen pemerintah dan pelaku industri dalam mendukung upaya pelestarian lingkungan.
Festival LIKE merupakan rangkaian acara pendahuluan keterlibatan pemerintah Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim 2023 atau COP 28 yang akan diselenggarakan pada 30 November-12 Desember 2023, di Dubai. Acara ini juga sekaligus bentuk apresiasi atas upaya masyarakat dalam mewujudkan kualitas lingkungan hidup dan kehutanan yang semakin baik, aksi mitigasi perubahan iklim, serta peningkatan kesehatan masyarakat.
Di hadapan 16 ribu hadirin, Presiden Joko Widodo mengingatkan untuk berhati-hati dengan ancaman perubahan iklim yang sudah nyata dan dirasakan oleh semua negara di dunia. Presiden pun mengajak semua pihak untuk bersama-sama menjaga lingkungan sekitar, antara lain dengan menggiatkan kembali reboisasi atau penanaman pohon.
“Saya mengajak semua, terutama untuk pegiat lingkungan, ketua adat, kelompok hutan sosial, juga penyuluh, untuk terus menggiatkan rehabilitasi, penanaman kembali pada hutan. Pemerintah juga harus bersama dengan masyarakat. Semua harus menanam pohon,” kata Jokowi.
Presiden juga menyampaikan, bahwa suhu bumi yang makin panas membuat es di kutub mencair sehingga permukaan air laut naik. Sejumlah pulau kecil baik di Indonesia maupun di Pasifik telah merasakan langsung dampaknya.
Untuk itu, Presiden mengajak nelayan dan pegiat lingkungan untuk menanam mangrove di pesisir pantai. "Kita sudah beri contoh di Denpasar kita memiliki persemaian bibit mangrove yang satu tahun bisa memproduksi kira-kira 6 juta bibit. Saya kira tidak hanya di Denpasar yang dulu kita tunjukkan ke para pemimpin negara-negara G20. Mereka kagum terhadap proses persemaian yang ada di situ. Itu baru mangrove," jelasnya.
BIG sebagai lembaga yang bertanggungjawab terhadap pemetaan turut membantu dengan memetakan lahan mangrove sebagai upaya konservasi. Pemetaan dengan teknologi foto udara dan citra satelit dapat memberikan informasi tentang luas, umur, kondisi, dan distribusi kawasan mangrove.
“Teknologi geospasial juga dapat digunakan untuk membantu menentukan lokasi yang tepat untuk penanaman kembali mangrove, menentukan area prioritas untuk perlindungan, dan mengidentifikasi titik rawan terhadap ancaman, seperti penabangan liar atau perubahan penggunaan lahan,” ungkap Kepala BIG.
Aris menjelaskan, peta mangrove nasional pertama kali dirintis pada 2009. Peta ini termasuk produk pertama dari Kebijakan Satu Peta (KSP).
“Untuk mendukung inventarisasi kawasan mangrove secara spasial, disusunlah Standar Nasional Indonesia (SNI) 7717-2011 tentang survei dan pemetaan mangrove. Standar ini sebagai pedoman dalam melaksanakan survei dan pemetaan mangrove, agar hasil yang diperoleh mempunyai format sama, dapat disambungkan, dan diberbagipakaikan dengan mudah,” jelasnya..
Secara nasional peta mangrove disusun oleh Kelompok Kerja Mangrove Nasional, yang terdiri dari KLHK, BIG, Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), serta Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). (RP/NIN)