Legian, Berita Geospasial – Nama-nama tempat seringkali terkait dengan sejarah, mitologi, legenda, atau tradisi tertentu yang melekat dengan budaya lokal. Mereka menjadi cerminan dari warisan budaya yang unik sekaligus untuk pengingat bagi penduduk setempat dan generasi mendatang khususnya tentang akar budaya mereka. Nama-nama tempat yang telah ada sejak lama dapat memberikan petunjuk tentang peristiwa sejarah, migrasi, atau perubahan sosial yang terjadi di masa lampau.
Bali, yang dikenal juga dengan sebutan Pulau Dewata, sangat kental dengan tradisi dan budaya dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Pura yang megah dan kompleks arkeologi kuno menjadi bagian penting dari warisan budaya Bali. Melalui kesenian, adat istiadat, dan agama Hindu yang mendominasi, Bali telah berhasil mempertahankan identitasnya yang kuat dan menjadi tempat menarik untuk merasakan keajaiban budaya yang otentik.
"Geographical Name as Cultural Heritage" menjadi topik utama yang diangkat dalam kegiatan International Training on Toponymy, dengan tujuan untuk melestarikan budaya melalui nama rupabumi (toponim). Pelatihan ini dilaksanakan sebagai wujud komitmen Indonesia dalam menjalankan program kerja United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN) Asia South-East (ASE) Division pada periode tahun 2019-2022, di saat Indonesia berperan sebagai Ketua Divisi.
"Pelatihan ini sudah direncanakan sejak tahun 2020, namun tertunda karena pandemi Covid19 dan akhirnya dapat diselenggarakan tahun ini, berkolaborasi dengan UNGEGN", sebut Sekretariat UNGEGN, Cecille Blake.
"Bali mempunyai keunikan sendiri yang menempatkan budaya sebagai aspek utama. Ini menjadikan Bali sebagai tempat ideal untuk mengadakan pelatihan dan sosialisasi toponimi sebagai warisan budaya", kata Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Muh Aris Marfai saat konferensi pers usai membuka International Training on Toponymy di Legian, Bali, pada Senin, 19 Juni 2023.
"Kami berharap pelatihan ini dapat memberikan pemahaman mendalam akan pentingnya toponim sebagai warisan budaya, terutama dalam melestarikan nilai budaya yang ada di masyarakat", lanjut Aris.
Pelatihan lima hari berskala internasional dengan pengajar dan peserta tidak hanya berasal dari Indonesia, berisi modul - modul terkait toponimi dilengkapi dengan simulasi pengambilan data langsung ke lapangan.
"Para peserta akan mengikuti praktik lapangan untuk pengambilan data di Pura Tirta Empul dan Gua Gajah. Sehingga akan ada interaksi dengan masyarakat lokal untuk benar-benar mendapatkan informasi lebih detail terkait suatu nama rupabumi,” ujar Ade Komara, Kepala Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim, BIG.
“Tentunya kami juga berharap peserta dapat mengaplikasikan pengetahuan yang mereka peroleh dalam konteks pelestarian budaya, pengembangan pariwisata berkelanjutan, serta pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pemetaan dan penamaan tempat,” pungkas Ade. (AT/NIN/MN)