Cibinong, Berita Geospasial – Sistem Referensi Geospasial Indonesia (SRGI) memainkan peran penting dalam kegiatan survei dan pemetaan sejak diluncurkan pada 17 Oktober 2013. SRGI terdiri dari sistem referensi geospasial horizontal, sistem referensi geospasial vertikal, serta sistem layanan dan akses SRGI.
“Pengembangan infrastruktur geodetik akan terus dilakukan guna mendukung pemanfaatan secara luas aktivitas survei dan pemetaan, monitoring sistem pergerakan kerak bumi, peringatan dini tsunami, penurunan permukaan tanah, dan kenaikan permukaan air laut,” kata Deputi Bidang Informasi Geospasial Dasar Badan Informasi Geospasial (BIG) Arief Syafii saat menjadi pembicara pada Working Group 1 `Geodetic Reference Frame` 9th Plenary Meeting of United Nations Global Geospatial Information Management – Asia Pasific (UN-GGIM-AP), Selasa, 3 November 2020.
Arief menjelaskan, sistem referensi geospasial horizontal terdiri daristasiun Continuosly Operating Reference Station (CORS) dan jaring kontrol geodetik statis. Hingga 2019, telah dioperasikan 246 stasiun CORS di seluruh Indonesia secara real time.
“Hingga 2024, akan dioperasikan 430 stasiun CORS. Stasiun CORS ini secara rutin mengirimkan informasi dari 7.328 pilar jaring kontrol geodetik di seluruh Indonesia,” terangnya.
Data dan informasi dari CORS serta jaring kontrol geodetik, lanjut Arief, sangat dibutuhkan sebagai referensi kegiatan survei dan pemetaan, mendukung penentuan posisi secara real time, upaya pengurangan risiko bencana, serta medukung riset dan pengembangan.
Sedangkan, sistem referensi geospasial vertikal terdiri dari datum vertikal Indonesia dan stasiun pasang surut. “InaGeoid merupakan datum vertikal Indonesia yang dan telah ditetapkan sebagai kerangka referensi geospasial vertikal yang dinyatakan sebagai jarak vertikal relatif terhadap referensi ellipsoid,” jelas Arief.
Data geoid diperoleh dari 60 pilar titik kontrol utama gravitasi dan survei gravitasi airborne dengan cakupan 90 persen wilayah Indonesia. Saat ini, telah beroperasi 170 jaringan stasiun pasang surut untuk mendukung sistem peringatan dini tsunami dan navigasi di lautan.
“Infrastruktur geodetik telah mendukung sistem kegempaan dan peringatan dini tsunami Indonesia (InaTEWS) melalui pemanfaatan Indonesian Continuosly Operating Reference Stations (InaCORS) dan Indonesian Tides System (Ina-Tides),” papar Arief.
Data dan informasi InaCORS mampu mendeteksi bentuk perpindahan gelombang ketika gempa bumi terjadi yang menjadi data tambahan bagi Badan Meteorologi , Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam menentukan parameternya. Tidak hanya itu, data yang dihasilkan juga dapat memberikan informasi pergerakan lempeng tektonik untuk mempelajari daerah potensi gempa.
“Indonesian Tides System (Ina-Tides) merupakan real time pengukuran permukaan laut secara terus menerus di stasiun pasang surut yang mampu mendeteksi perubahan permukaan laut yang cepat sebagai konfirmasi peringatan dini tsunami di wilayah tersebut saat terjadi tsunami dan konfirmasi untuk mengakhiri peringatan dini tsunami jika tsunami tidak terjadi,” tutup Arief. (TN/NIN)