Jumat, 08 November 2024   |   WIB
id | en
Jumat, 08 November 2024   |   WIB
Relevansi Buku The Spatial Economy Setelah Dua Dekade

(Cibinong, Berita Geospasial) - Dua puluh tahun berlalu sejak Buku “The Spatial Economy” yang ditulis oleh Fujita dan kawan-kawan pada 1999. Bagaimana relevansi teori yang diangkat pada buku tersebut bila dibandingkan dengan kondisi saat ini?

Hal tersebut merupakan poin utama pada kegiatan webinar Bincang-Bincang Geospasial: Kupas Tuntas Buku The Spatial Economy yang berlangsung pada Rabu, 19 Agustus 2020 di Aula Utama Badan Informasi Geospasial. Selama lebih kurang 2 jam, narasumber yang hadir baik offline maupun online berdiskusi berdasarkan latar belakangnya masing-masing.

Menurut Rizal Taufikurahman, pada masanya, buku tersebut membawa pendekatan baru dalam perencanaan pembangunan berbasis wilayah. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) tersebut menilai Indonesia sedikit banyak telah mengadopsi pendekatan tersebut.

“Pendekatan regional ini cocok dengan kondisi Indonesia, apalagi dengan adanya desentralisasi wilayah. Meski region dalam buku tersebut merujuk pada negara. Kita dapat menganalogikan region sebagai kabupaten atau kota. BPS pun sudah memiliki neraca ekonomi antarregion yang merepresentasikan ekonomi antar wilayah,” jelas Rizal.

Sementara itu, Heri Sutanta, Dosen Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai buku The Spatial Economy meninggalkan beberapa catatan yang membutuhkan pembahasan lebih jauh. Dari sudut pandang geospasial, jarak dan ukuran yang menjadi core dalam formulasi buku tersebut memiliki berbagai variasi dengan makna yang berbeda. Geospasial mengenali hambatan topografis yang akan berpengaruh terhadap jarak sehingga mengubah variabel ukuran dalam teori.

“Selain itu, buku ini ditulis pada 1999, saat banyak penemuan besar di bidang geospasial belum diterapkan. Saat ini, sudah banyak aplikasi online yang mengubah paradigma kita tentang lokasi. Sekarang, berdasarkan buku tersebut, kita bisa bergerak mendetailkan aspek-aspek tertentu dalam buku itu,” ujarnya.

Bagi Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas Arifin Rudiyanto, pemerintah telah banyak menerapkan teori-teori kewilayahan dalam perencanaan pembangunan. Spasial tidak bisa dipisahkan dari aspek lain seperti ekonomi dan lingkungan. Perencanaan harus berdasarkan data dan informasi yang akurat.

“Pada 2011, saat menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, kita memanfaatkan data-data spasial dan ekonomi yang terintegrasi. Kita telah mengembangkan konsep spasial dinamis, bagaimana perkembangan spasial dalam kurun waktu tertentu sekaligus pola perkembangan ekonominya,” tutur Rudi.

Melalui model analisis itu muncul beberapa skenario pembangunan. Menurut Rudi, hal tersebut sangat membantu proses perencanaan karena memberikan prediksi pertumbuhan ekonomi dan bagaimana daya tampung dan daya dukung suatu kawasan sehingga pemerintah dapat menyusun rencana pengembangan suatu kawasan yang terpadu. (MAD)