Selasa, 26 November 2024   |   WIB
id | en
Selasa, 26 November 2024   |   WIB
InaTEWS, Kesiapan Menghadapi Bencana

Cibinong, Berita Geospasial – Geospatial Webinar Series (GWS) yang digelar Badan Informasi Geospasial (BIG) terus bergulir. Memasuki seri keempat, webinar kali ini mengangkat tema `InaTEWS: Kesiapan Menghadapi Bencana`.

Tema terkait Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) atau sistem peringatan dini tsunami menarik untuk diperbincangkan, mengingat Indonesia adalah negara dengan tingkat aktivitas bencana yang sangat tinggi. Gempa bumi dan tsunami telah menjadi ancaman bencana alam di Indonesia.

“Hampir 60 persen wilayah pantai kita rawan tsunami. Kita tidak bisa menghindari hal tersebut, yang bisa dilakukan adalah meminimalkan risiko saat gempa bumi dan tsunami terjadi,” kata Deputi Bidang Informasi Geospasial Dasar BIG Mohamad Arief Syafi'i saat menjadi narasumber GWS #4 pada Jumat, 12 Juni 2020.

Arief menjelaskan, Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami memberikan tugas kepada kementerian/ lembaga (K/L) terkait untuk melaksanakan rangkaian kegiatan penyediaan dan penyebaran informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami. Salah satu tugas BIG adalah melakukan penguatan stasiun pasang surut (pasut) dan stasiun GNSS (Global Navigation Satellite System) CORS (Continuously Operating Reference Stations) untuk mendukung InaTEWS.

“Saat ini, BIG telah memiliki 159 stasiun pasut. Hingga 2024, kami berencana menambah 110 stasiun pasut dengan prioritas wilayah yang rawan tsunami,” tambahnya.

Stasiun pasut atau tide gauge milik BIG, lanjut Arief, berguna untuk mendeteksi kejadian tsunami secara dini. Alat yang biasa dipasang di dekat pusat gempa ini, bisa merekam adanya perubahan muka air laut secara mendadak.

Informasi yang dikirimkan dari tide gauge, dapat digunakan sebagai peringatan bagi penduduk yang berada cukup jauh dari pusat gempa namun berpotensi terdampak tsunami. “Jadi, stasiun pasut BIG akan mengonfirmasi apakah gelombang tsunami mencapai pantai atau tidak. Jika tidak, BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) bisa mengakhiri peringatan dini, karena berarti tidak terjadi tsunami,” terang Arief.

Setiap stasiun pasut BIG memiliki tiga sensor untuk mendeteksi adanya tsunami. Sehingga, jika ada salah satu sensor bermasalah, masih ada sensor lainnya yang bekerja.

Tide gauge yang terpasang di stasiun pasut ini machine to machine, tidak ada intervensi manual. Semoga teknologi tide gauge kami dapat memberikan peringatan lebih akurat lagi dalam InaTEWS,” tegas Arief.

Namun, Arief tidak memungkiri jika pihaknya mengalami berbagai kendala terkait pembangunan sistem peringatan dini tsunami. Salah satunya terkait lokasi penempatan stasiun pasut dan stasiun CORS.

“Kami sering mengalami kendala terkait perijinan kepada otoritas pemilik atau pengelola lokasi, selain itu untuk pembangunan stasiun pasang surut biasanya diperlukan pelabuhan atau dermaga. Selain itu, aksesibilitas menuju lokasi pembangunan juga perlu mendapat perhatian khusus,” tutupnya.

GWS seri keempat ini juga menghadirkan narasumber pakar geologi gempa bumi dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Danny Hilman Natawidjaja; Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Palu Singgih B. Prasetyo; serta pakar tsunami dari Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko. (NIN/MN)