Jumat, 22 November 2024   |   WIB
id | en
Jumat, 22 November 2024   |   WIB
Perlukah Data Ketinggian di Peta Skala Besar?

Berita Geospasial, Jakarta – Ketua Tim Persiapan Percepatan Pemetaan Skala Besar Ade Komara menjelaskan adanya perdebatan mengenai kebutuhan data ketinggian pada peta skala besar. Bagi beberapa pihak, data ketinggian tidak banyak dimanfaatkan, namun pada beberapa kasus, data tersebut bisa jadi sangat krusial. Ade mengangkat kasus di Jawa Barat.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat ingin mempertahankan Kawasan Bandung Utara (KBU) sebagai kawasan konservasi. Pemprov tak ingin KBU mengalami perubahan fungsi lahan seperti yang terjai di wilayah Puncak. Pembangunan yang tidak terkendali menyebabkan daerah resapan berkurang. Hal ini bisa menyebabkan longsor maupun banjir di daerah hilir.

Menurut Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 30 Tahun 2008, KBU adalah kawasan yang meliputi sebagian wilayah Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat dengan di sebelah utara dan timur dibatasi oleh punggung topografi yang menghubungkan puncak Gunung Burangrang, Masigit, Gedongan, Sunda, Tangkubanparahu dan Manglayang, sedangkan di sebelah barat dan selatan dibatasi oleh garis (kontur) 750 meter di atas permukaan laut (mdpl) yang secara geografis terletak antara 107° 27' - 107 ° Bujur Timur, 6° 44' - 6° 56' Lintang Selatan.

Meskipun telah jelas terdefinisi dalam peraturan, ada kesulitan dalam menentukan garis batas 750 meter tersebut karena pada saat itu tidak ada data mengenai hal itu.

Ini yang menjadi trigger utama kami di BIG untuk memulai program pemetaan skala 1:5.000. ada aturan yang ingin ditegakkan. Saat KBU di peta tata ruang akan jadi kawasan khusus, ya tentu (data ketinggian) sangat diperlukan,” jelas Ade.

Data ketinggian pun diperlukan pada penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Akan tetapi, karena data tersebut belum banyak tersedia, terjadi pemakluman terhadap data tersebut pada penyusunan RDTR.

Itu tidak tepat, data tersebut diperlukan sebagai analisis 3 dimensi keruangan untuk penyusunannya,” jelas Ade.

Terlepas dari perdebatan mengenai kebutuhan data ketinggian, Ade menyampaikan bahwa geospasial masih menjadi istilah baru di Indonesia.Di negara lain, telah banyak riset yang menunjukkan bahwa informasi geospasial memiliki keterkaitan terhadap ekonomi makro.

Banyak contoh pemanfaatan informasi geospasial. Sampai level mikro di kota, bagaimana kota bisa menghemat sekian juta dolar hanya dengan mengoptimalkan jalur truk sampah menggunakan informasi geospasial,” tutur Ade. (MAD)