Pemerintah telah menerapkan pendekatan baru dalam perencanaan pembangunan nasional dan regional. Pendekatan holistik, tematik, integratif, dan spasial (THIS) diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi sasaran agenda prioritas nasional.
Untuk mendukung konsep tersebut dibutuhkan kecerdasan spasial
Pada tingkat pemerintahan, kecerdasan spasial dibutuhkan untuk menyusun perencanaan pembangunan yang matang. Terutama dalam mendukung perencanaan
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Hasanuddin Zainal Abidin saat membuka Lokakarya “Geoliterasi Atlas untuk Meningkatkan Kecerdasan Spasial” di IPB International Convention Center. Kegiatan tersebut dihadiri oleh 115 guru yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Geografi SMA se-Jabodetabek.
“Saya pernah menjumpai Wali Kota yang bertanya tentang pemanfaatan peta. ‘Kami punya peta banyak sekali dan datanya bagus, namun bagaimana cara memakainya’. Dalam hal ini dibutuhkan kecerdasan spasial untuk memahami peta dan mengaktualisasikannya dalam perencanaan pembangunan,” tuturnya.
Hasanuddin pun menjelaskan bahwa istilah informasi geospasial telah digunakan secara internasional. Namun, penggunaannya di Indonesia belum populer. Informasi Geospasial berasal dari kata geo yang berarti bumi, dan spasial yang berarti ruang.
“Informasi Geospasial adalah the science of where, segala jenis informasi mengenai lokasi,” jelas Hasanuddin.
Secara keilmuan, informasi geospasial didukung oleh geodesi, geomatika, dan geografi. Hasanuddin menyayangkan informasi geospasial saat ini hanya ditemui pada pelajaran IPS saja. Padahal, ilmu seperti geodesi, membutuhkan dasar-dasar IPA. Untuk itu, Hasanuddin berpesan agar para guru menyelipkan informasi geospasial pada pelajaran IPA.
“Kalau bisa, informasi geospasial sudah mulai dikenakan sejak pendidikan dasar. Tinggal penyesuaian materinya,” tutur Hasanuddin.
Pada kegiatan yang sama, hadir Yudi Latif, Anggota Akademisi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Ia menyoroti informasi geospasial sebagai elemen penting dalam memahami kebangsaan.
Menurut Yudi, Indonesia merupakan ekstensi dari Benua Asia dan ekstensi Benua Australia di mana terdapat titik-titik perjumpaan yang memungkinkan koneksi dan keanekaragaman hayati. Indonesia adalah perlintasan besar.
“Jika kita lihat geografinya, kita hidup di tengah ring of fire, ada empat lempeng tektonik di Indonesia. Keadaan ini membuat Indonesia menjadi daerah yang rawan bencana, namun terdapat anugerah dari gunung-gunug api di Indonesia,” tutur Yudi.
Untuk itu, wawasan spasial dibutuhkan agar kita bisa hidup harmonis. Bila merujuk pada sejarah kebudayaan, leluhur kita telah mengembangkan konsep-konsep agar keturunannya dapat berdamai dengan ancaman bencana alam.
“Hampir setiap agama dan kebudayaan mengembangkan harmonisasi tiga arah, menjaga harmoni dengan dunia atas: ilahi, dengan duniah tengah: sesama manusia, dan duniah bawah: alam kehidupan,” jelas Yudi.
Yudi pun menjelaskan bahwa pendekatan spasial merupakan salah satu langkah dalam mewujudkan pemerataan pembangunan. Menurutnya, keadilan ada hubungannya dengan cara kita melaksanakan pembangunan berbasis spasial. Ia mencontohkan bagaimana jutaan hektar sawah diciptakan pada lahan yang tidak sesuai. Sementara, sawah-sawah di Jawa malah berubah fungsi menjadi industri.
“Barangkali apabila sejak awal pembangunan didasari spasial, kita dapat melihat pusat-pusat industri tersebar dan memutar roda ekonomi di tiap-tiap wilayah Indonesia,” jelas Yudi.