Sebesi, Berita Geospasial – Badan Informasi Geospasial (BIG) memasang tide gauge di dermaga Pulau Sebesi, Lampung Selatan. Langkah ini merupakan bagian dari sistem peringatan dini bencana tsunami akibat erupsi Gunung Anak Krakatau.
“Fungsi utama tide gauge adalah memantau dan mengukur pasang surut air laut untuk referensi vertikal kegiatan pemetaan. Namun, alat ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi terjadinya tsunami,” terang Bayu Triyogo Widyantoro dari Pusat Jaring Kontrol, Geodesi, dan Geodinamika (PJKGG) saat berada di Pulau Sebesi.
Data dari stasiun pasut di Pulau Sebesi di Selat Sunda sudah mulai mengalir pada Jumat, 25 Januari 2019. Data ini dapat dipantau pada link: http://tides.big.go.id:8888/dash/prov/Lampung.html.
Bayu menjelaskan, tide gauge merekam data pasang surut setiap satu menit. Kemudian, data yang telah direkam dikirimkan ke server setiap lima menit. Pengiriman data ke server mengunakan modem GPRS.
“Kendala alat ini adalah ketika suatu daerah tidak terdapat sinyal GPRS, maka data tidak akan terkirim, atau ketika GPRS mati dan tidak ada sinyal. Alat ini akan tetap merekam data, namun pengiriman datanya terhambat. Contoh di Palu, ketika air laut surut maka sudah dipastikan akan terjadi tsunami. Namun, sinyal GPRS di Palu saat itu sedang tidak bagus, sehingga data telat masuk ke sistem BIG. Selain itu, jeda antara gempa dan tsunami sangat singkat, hanya berjarak dua menit. Jadi, apa pun yang dilakukan tidak akan optimal,” bebernya.
Data dari tide gauge yang masuk ke sistem BIG, lanjut Bayu, diteruskan ke Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG). Data ini akan dikonfirmasi BMKG sebagai indikator adanya tsunami di suatu daerah.
“Satu hal yang perlu diperhatikan, tide gauge atau stasiun pasang surut (pasut) ini tidak akan mengeluarkan bunyi apa pun. Berbeda dengan tsunami warning yang mengeluarkan bunyi seperti sirine. Jadi, alat ini hanya merekam data pasang surut air laut yang dikirim secara online ke BIG dan diteruskan ke BMKG. Lalu, BMKG yang akan mengeluarkan warning apabila terdeteksi adanya tanda-tanda tsunami,” tegas Bayu.
Saat ini, tide gauge di Pulau Sebesi merupakan stasiun pasut terdekat dengan kompleks Gunung Anak Krakatau dengan jarak sekitar 20 kilometer. Dalam rangka tanggap darurat bencana, BIG memasang tide gauge berbeda dari biasanya, yaitu menggunakan tiang.
Rencananya, ada tiga alat lagi dipasang di sekitar Gunung Anak Krakatau, yaitu di Pulau Sertung, Rakata, dan Pulau Panjang. Dengan begitu, jika kembali terjadi tsunami akibat erupsi Gunung Anak Krakatau, bisa terpantau dari naiknya air laut secara tiba-tiba karena harus melalui tiga pulau tersebut. Evakuasi pun bisa segera dilakukan.
“Namun, Pulau Sertung, Rakata, dan Pulau Panjang tidak memiliki dermaga. Sehingga kami harus mengecek kondisi di pulau-pulau tersebut secara langsung untuk memastikan alat apa yang cocok dipakai dan platform yang bisa digunakan. Sayangnya, hingga saat ini ketiga pulau tersebut tidak bisa dimasuki siapa pun karena masih ada larangan dari otoritas setempat untuk tidak mendekat radius 5 kilometer dari Gunung Anak Krakatau,” ujar Bayu.
Sebagai informasi, saat ini BIG memiliki 138 tide gauge yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Pada umumnya, alat ini terpasang di dermaga. Tide gauge standarnya ditempatkan dalam sebuah bangunan beton seluas 2 meter x 2 meter yang biasa disebut rumah pasut.
BIG menargetkan membangun 10 tide gauge setiap tahunnya. Namun, jumlah tersebut tergantung pada ketersediaan dermaga, dana, dan juga kebutuhan. Prinsipnya, semakin banyak tide gauge yang terpasang, akan semakin bagus.
Secara umum, jarak ideal antarstasiun pasut sejauh 80 kilometer. Jika menilik keseluruhan garis pantai di Indonesia yang mencapai 100.000 kilometer, maka setidaknya Indonesia memiliki 4.000-5.000 tide gauge. (NIN)