Berita Geospasial, Jakarta – Rentetan kejadian bencana alam yang dialami Indonesia beberapa tahun belakangan mengindikasikan perlunya sebuah sistem mitigasi bencana untuk meminimalisasi dampak dari bencana. Salah satunya dengan mewujudkan tata ruang berbasis kebencanaan.
Hal tersebut diungkapkan Kepala Pusat Jaring Kontrol Geodesi dan Geodinamika Badan Informasi Geospasial (BIG) Antonius Bambang Wijanarto sebagai narasumber dalam Forum MerdekaBarat 9 (FMB9), Jumat, 8 Februari 2019. Forum yang diselenggarakan di kantor BMKG tersebut merupakan forum rutin yang digagas Kemenkominfo sebagai wadah untuk memberikan informasi akurat dan valid kepada insan media.
Anton menjelaskan, melalui Kebijakan Satu Peta, setiap instansi dapat berkolaborasi. “BIG bertugas menyediakan peta dasar yang digunakan oleh kementerian, lembaga, dan masyarakat sebagai papan catur,” tutur Anton.
Sebagai contoh, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi membuat peta kawasan rawan bencana geologi. Peta tersebut kemudian dapat digunakan sebagai acuan pemerintah daerah dalam mengembangkan tata ruang wilayahnya.
"Melalui One Map Policy, semua unsur pemerintah dan masyarakat tidak melakukan (pemetaan) hal yang sama dua kali," tutur Anton.
Anton pun menjelaskan tugas BIG sebagai pengolah jaring kontrol. "Seluruh sistem referensi pemetaan di Indonesia dikelola BIG," kata Anton.
BIG menyediakan sensor-sensor seperti stasiun pasang surut dan stasiun CORS. Sensor-sensor tersebut diperlukan untuk pemetaan dan telah bekerja secara online.
Pada perkembangannya, sensor-sensor tersebut digunakan untuk memantau pergerakan lempeng bumi dan dimanfaatkan sebagai bagian dari mitigasi bencana. Data-data yang dikumpulkan stasiun pasang surut misalnya, digunakan BMKG sebagai bagian sistem peringatan dini tsunami.
Menjawab pertanyaan mengenai isu bahwa Pulau Jawa akan terbelah secara vertikal, Anton mengatakan bahwa bentuk Indonesia dulu juga tidak seperti sekarang ini. Lempeng bumi bergerak secara dinamis, Indonesia ditekan oleh lempeng Eurasia dan Australia.
"Proses itu berjalan jutaan tahun, lama, jadi tidak serta merta terbelah seperti di film," jelas Anton.
Sebagai catatan, berdasarkan laporan UNISDR (United Nation International Strategy of Disaster Reduction) yang dirilis di penghujung Januari 2019, total korban jiwa akibat bencana alam sepanjang 2018 mencapai 10.373 jiwa.
Hampir separuhnya berasal dari Indonesia yakni mencapai 4.535 jiwa. Dari angka tersebut, 4.417 jiwa disebabkan oleh bencana geologi antara lain gempa, tsunami, dan erupsi gunung.
Tingginya korban jiwa akibat bencana di Indonesia, menurut Centre for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED), bahkan tercatat terjadi sejak tahun 2000. Hal itu berkorelasi yang kuat dengan kondisi geografis Indonesia, yang memang terletak di kawasan rawan bencana (ring of fire). (MAD/DA)