Cibinong, Informasi Geospasial – Setiap pemerintah daerah (pemda) membutuhkan peta yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan saat menyusun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) daerahnya. Peta yang tidak akurat dapat menyebabkan tumpang tindih kepemilikan dan penguasaan lahan, sehingga berpotensi memicu timbulnya konflik sosial.
“Dampak negatif dapat terjadi di berbagai sektor jika Informasi Geospasial (IG) di suatu wilayah tidak lengkap dan tidak standar. Selain terjadi tumpang tindih dan perebutan lahan, juga berpotensi terbentuk data-data yang seharusnya tidak diperlukan,” kata Asep Sofyan dari Pusat Standardisasi dan Kelembagaan Informasi Geospasial saat menyampaikan paparan usai penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dan Kerja Sama (PKS) dengan beberapa pemda di Aula Badan Informasi Geospasial (BIG), Cibinong, Bogor, Jumat, 12 Oktober 2018.
Asep menjelaskan, “program pembangunan sulit direncanakan, dipantau, dan dievaluasi tanpa adanya IG. Jadi, jelas IG menyangkut hajat hidup, bahkan kedaulatan bangsa karena menyangkut batas wilayah”. Karena itu, lanjut Asep, pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lahirlah Kebijakan Satu Peta (KSP) untuk menyatukan seluruh IG yang diproduksi berbagai sektor ke dalam satu peta secara integratif. Program KSP mengamanatkan BIG untuk menyiapkan peta dasar sebagai acuan standar. Hal ini sesuai dengan konsep KSP, yaitu satu referensi, satu standar, satu database, dan satu geoportal.
“Program KSP kemudian dilanjutkan pada pemerintahan Presiden Joko Widodo yang kemudian lebih dikenal dengan one maps policy. Bahkan, Presiden Jokowi mencanangkan program Percepatan Kebijakan Satu Peta (PKSP) melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016,” terang Asep.
Menurut Asep, idealnya seluruh kementerian/lembaga (K/L) dan pemda terhubung Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN). Keuntungan JIGN, yaitu menghindari duplikasi; IG dikelola masing-masing wali data; adanya akses yang cepat terhadap informasi; interoperabilitas; serta efisiensi kegiatan dan anggaran. (KP/DA)