Jakarta, Informasi Geospasial – Gempa dan tsunami yang terjadi di Palu pada 28 September 2018 seolah membuka mata masyarakat Indonesia, bahwa mereka selama ini hidup di atas pertemuan lempeng litosfer, yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik, membuat negara ini rawan bencana alam, mulai dari kekeringan, banjir, gempa, erupsi gunung berapi, hingga tsunami. Bahkan, bisa dibilang hampir seluruh wilayah di Indonesia tidak ada yang bebas bencana. Tidak heran, jika ada yang menyebut Indonesia adalah supermarket bencana.
Kondisi tersebut membuat masyarakat Indonesia harus berdamai dan bersahabat dengan bencana. Satu-satunya cara meminimalisir dampak bencana adalah dengan mengedukasi masyarakat. Edukasi paling efektif adalah menyusun Informasi Geospasial (IG) wilayah rawan bencana.
"Perlu adanya peta rawan bencana yang berisi segala Infomasi terkait bencana. Mulai dari gunung api hingga lempeng bumi yang mulai bergeser," kata Deputi Bidang Informasi Geospasial Dasar Mohamad Arief Syafii saat Media Gathering dengan tema Pemanfaatan Informasi Geospasial dalam Mitigasi Bencana di kawasan Jakarta Selatan, Kamis, 11 Oktober 2018.
Menurut Arief, peta rawan bencana tersebut juga harus mencakup informasi siklus manajemen penanggulangan bencana. Siklus yang dimaksud meliputi disaster preparedness (kesiapsiagaan menghadapi bencana), disaster mitigation (mengurangi dampak bencana), disaster response (tanggap bencana), serta disaster recovery (pemulihan pascabencana).
Siklus manajemen bencana ini yang diharapkan mulai disadari pemangku kepentingan lintas kementerian dan lembaga. "Siklus manajemen bencana pada dasarnya berupaya menghindarkan masyarakat dari bencana. Baik dengan mengurangi kemungkinan hazard maupun mengatasi kerentanan," jelas Arief.
Lebih lanjut, Kepala Bidang Pemetaan Kebencanaan dan Perubahan Iklim Ferrari Pinem menerangkan bahwa Badan Informasi Geospasial (BIG) berperan membuat peta rawan bencana, peta risiko bencana, serta peta tata ruang kebencanaan untuk mitigasi bencana. Saat ini, BIG telah memiliki peta kontinjensi dan early warning system sebagai upaya kesiapsiagaan menghadapai bencana.
“Pada tahap tanggap bencana, BIG membuat peta daerah mana saja yang terkena dan terdampak. BIG juga membuat peta daerah mana saja yang bisa dijadikan wilayah baru untuk relokasi,” sambungnya.
Pada saat seluruh mata dan perhatian tertuju pada bencana yang terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sulawesi Tengah (Sulteng), masyarakat harus tetap waspada bencana lain mungkin saja sudah mengintai. Puncak musim hujan yang diprediksi terjadi pada Januari-Februari 2019 memungkinkan terjadinya banjir.
“Air bisa menjadi sahabat dan juga musuh. Dibutuhkan edukasi agar masyarakat paham apa yang harus dilakukan saat terjadi gempa,” tegas Yosef Prihanto, peneliti BIG.
Dalam hal ini, media massa diharapkan turut berperan mengedukasi masyarakat terkait siklus manajeman bencana. Caranya, pemberitaan media massa sebaiknya tidak hanya pada saat terjadi bencana dan pasca bencana, tetapi juga bagaimana meminimalisasi korban bencana agar masyarakat senantiasa waspada. (DEV/NIN)