Rabu, 06 November 2024   |   WIB
id | en
Rabu, 06 November 2024   |   WIB
Perkembangan Teknologi dapat Mempengaruhi Legimitasi Suatu Negara

Bogor, Berita Geospasial – Pada Kamis, 16 Maret 2017 yang lalu, Badan Informasi Geospasial mengadakan Sosialisasi dan Forum Data Simpul Jaringan Informasi Geospasial Nasional Guna Mendukung Kebijakan Satu Peta di IPB-ICC, Bogor. Jaringan Informasi Geospasial Nasional merupakan sarana untuk berbagi-pakai informasi geospasial dengan teknologi informasi dan komunikasi. Perkembangan teknologi dapat mempengaruhi legimitasi suatu negara, termasuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Demikian disampaikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar dalam arahannya untuk acara ini.  Ada beberapa faktor yang mempengaruhi legitimasi suatu negara, mulai dari prinsip partikularistik, sosiologis, produksi-distribusi dan teknologi. “Khusus untuk teknologi, perlu mendapatkan sorotan yang khusus. Pasalnya, apabila ada pihak lain yang masuk ke Indonesia dengan teknologi yang maju (sementara Indonesia tertinggal) ini akan mengganggu legitimasi negara” jelas Siti.

Siti Nurbaya juga menambahkan pentingnya menyatukan peta itu mulai dari integrasi, kompilasi hingga ke pemanfaatannya. "Apalagi untuk Indonesia yang begitu luasnya, teknologi mapping itu bisa menjadi dasar untuk menjaga legitimasi negara ini," kata Siti Nurbaya.  Oleh karena itu, lanjutnya, jaringan informasi geospasial nasional harus kuat. Seluruh pemainnya harus mendukung aturan-aturan mainnya. Mau apa harus saling terbuka karena kuncinya diketerbukaan itu. Sebagai salah satu walidata, Siti Nurbaya berpendapat data spasial yang dimiliki KLHK merupakan terbaik di antara Kementerian dan Lembaga. KLHK terutama di Kehutanan telah membuat  28 peta tematik. "Sekarang saya mau tambah lagi agar di Lingkungan datanya juga mesti bagus," pungkasnya.

Sementara itu, Kepala Badan Informasi Geospasial Hasanuddin Z. Abidin, menyampaikan bahwa Kebijakan Satu Peta (KSP) yang merupakan salah satu prioritas kegiatan pemerintahan Joko Widodo pada skala peta 1: 50.000 bukan untuk penyatuan peta itu sendiri. Namun, penyatuan peta dalam satu sistem referensi, satu standar, satu geoportal, serta satu basisdata agar peta yang dihasilkan berdaya guna maksimal.  “Diharapkan KSP ini menjadi salah satu perangkat untuk perencanaan pembangunan di berbagai sektor di Indonesia," ungkapnya. Menurut Hasanuddin, dengan adanya peta yang jelas akan memperkuat identitas Indonesia sebagai bangsa dan negara sehingga kedaulatan geospasialnya jelas. "Jadi NKRI mempunyai satu sistem peta yang jelas dan akurat," terangnya.

Hasanuddin memberikan pandangannya mengenai KSP di masa yang akan datang. “Google Maps hanya mampu menyediakan tampilan luar berupa fisiknya saja namun isi (data) hanya dimiliki oleh instansi di Indonesia. Akan menjadi permasalahan tersendiri apabila justru pihak luar Indonesia yang memiliki data sosial, ekonomi, dan statistiknya. Hal yang paling penting dari KSP adalah mendapatkan fungsi KSP, bukan hanya secara fisik petanya telah menjadi satu” jelas Hasanuddin. Oleh karena itu, mewujudkan KSP menjadi kebutuhan tersendiri karena akan memperkuat identitas bangsa dan kedaulatan geospasial Indonesia di masa yang akan datang.

Diharapkan dengan adanya peta yang terintegrasi, akan menjadi semacam sistem untuk conflict resolution. Dengan KSP, konflik akibat tumpang tindih ijin, tumpang tindih penetapan kawasan lahan, penunjukkan hutan dan lain-lain, bisa diresolusi. Selain itu, informasi geospasial bisa menjadi geospasial forensik, dengan membangun sistem early warning berbasis geospasial. “Memang begitu informasi geospasial terbuka transparan dan detail, ada konsekuensinya. Untuk pemerintahan dan negara bernilai positif, tapi ada pihak-pihak tertentu yang jadi nampak kesalahan-kesalahan yang selama ini terjadi,” terang Hasanuddin.

BIG dalam KSP tugas utamanya adalah menyiapkan peta dasar dan integrasi. Peta-peta tematik ada di K/L yang dikompilasi, verifikasi dan validasi, dan diintegrasikan kemudian disinkronkan kalau ada tumpang tindih. Hasanuddin mencontohkan pada proses integrasi untuk wilayah Kalimantan ada kawasan pertambangan yang masuk dalam hutan lindung.  Masalah ini harus diselesaikan di level sinkronisasi. Hasanuddin berpendapat proses sinkronisasi ini levelnya harus lebih tinggi. "Yang harus duduk bersama itu beberapa kementerian antara lain KLHK, Kem ATR/BPN, Kemdagri dan Kem ESDM. Kalau sudah disinkronkan baru keluar aturan-aturan main," lanjutnya.  Hasanuddin juga berharap agar sinkronisasi juga melibatkan penduduk atau masyarakat di wilayah tersebut sehingga sinkronisasi yang terjadi sifatnya sejati, tidak semu hanya berdasarkan legislasi. "Karena yang kita kuatirkan kalau sinkronisasinya semu, terjadi konflik di lapangan," lanjutnya.

Sementara itu, Deputi Bidang Infrastruktur Informasi Geospasial BIG, Adi Rusmanto, mengatakan bahwa BIG telah menggandeng 18 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sebagai Pusat Pengembangan Infrastrutur Data Spasial (PPIDS) dalam mendukung penyusunan peta terstandar dan bisa disinkronkan dalam mendorong KSP. "Untuk itu strategi kita menggandeng universitas negeri. PPIDS yang dibangun mengawal lima pilar IG," katanya. Pelibatan perguruan tinggi ini diyakini dapat mendampingi pemerintah daerah dalam pembuatan peta. Minimnya sumber daya pemetaan di pemerintah daerah dapat disokong oleh perguruan tinggi tersebut.

 

BIG memiliki target di setiap provinsi terdapat satu PPIDS. Namun jika cakupan wilayah luas sangat dimungkinkan dalam satu provinsi bisa terdiri lebih dari satu PPIDS. Delapan belas universitas itu antara lain Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Diponegoro, Institut Teknologi Bandung, Universitas Negeri Padang, Universitas Syiah Kuala, Universitas Tanjungpura, Universitas Mulawarman, Universitas Hasanuddin, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Udayana, Universitas Halu Oleo, Universitas Lampung, Universitas Sam Ratulangi, Universitas Gorontalo, Universitas Sriwijaya, Universitas Pattimura dan Universitas Bangka Belitung. (ME-TA-MD/LR/TR)