Rabu, 27 November 2024   |   WIB
id | en
Rabu, 27 November 2024   |   WIB
Peran Informasi Geospasial dalam Pembangunan Sektor Kemaritiman di Indonesia

Denpasar Bali, Berita Geospasial; Indonesia adalah negara dengan gugusan kepulauan yang panjang membentang, pulau-pulaunya membentang dari timur ke barat, yang setara dengan jarak antara Bagdad ke London, dan dari utara ke selatan, setara dengan jarak antara Jerman ke Aljazair. Area maritim yang dimiliki Negara Kesatuan Repubik Indonesia mencapai hampir 63 % dari luas keseluruhan wilayahnya. Ini tentu saja merupakan potensi yang sangat luar biasa bagi bangsa ini, bila kita bisa secara benar memanfaatkannya, untuk sebesar-besarnya kepentingan bangsa dan negara ini.  Untuk itu Indonesia tidak hanya sekedar mengambil keuntungan saja dari maritim yang dimiliknya, namun hal yang terpenting adalah merdeka dan berdaulat atas semua wilayah laut dan daratannya.

Potensi yang tak terhingga dari luas wilayah yang dimiliki Indonesia ini haruslah dibarengi dengan perencanaan, pengerjaan, dan evaluasi yang tepat dan melekat dengan aspek keruangannya, disinilah informasi geospasial mengambil perannya. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Kepala BIG, Prof. Hasanuddin Z. Abidin dalam paparannya pada saat menjadi pembicara utama di acara the 1st International Conference on Maritime Sciences and Advance Technology (MSAT), dengan tema “Geospatial Information is Compulsory for Managing and Developing the Country”.

Kepala BIG di hadapan lebih dari 200 orang peserta konferensi internasional ini, menegaskan bahwa “Geospatial Information is required for supporting the implementation of the policy”. Hal ini sesuai dengan Perpres No. 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia, yang menerangkan tentang  tujuh pilar Dokumen Nasional Kebijakan Kelautan Indonesia, yang terdiri dari:  1. Pengelolaan sumber daya kelautan dan pengembangan sumber daya manusia; 2. Pertahanan, Keamanan, Penegakan Hukum, dan Keselamatan di Laut; 3. Tata kelola dan kelembagaan laut; 4.  Ekonomi dan infrastruktur kelautan dan peningkatan kesejahteraan; 5. Pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut; 6. Budaya Bahari; dan 7. Diplomasi Maritim.

Lebih lanjut tentang tujuh pilar di atas, dalam dokumen tersebut diterangkan bahwa pelaksanaan Kebijakan Kelautan Indonesia dilakukan oleh kementerian dan lembaga sesuai tugas dan fungsi masing-masing. Sedangkan pelaksanaan dan pemantauan Kebijakan Kelautan Indonesia dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. Untuk hal itulah, BIG kemudian menyelaraskan berbagai program institusinya dengan kebijakan nasional kelautan Indonesia tersebut. Berbagai capaian sudah dilakukan oleh BIG hingga tahun 2017 ini adalah terbangunnya 134 stasiun GNSS CORS dan sistem referensi vertikal di seluruh wilayah Indonesia, survei airbone gravity, survei hidrografi dan pemetaan program tol laut, survei nama-nama pulau, pemetaan pulau kecil terdepan, pembuatan peta dasar kelautan, dan batas laut teritorial, serta kegiatan lainnya.

Terakhir dalam presentasinya, Kepala BIG menyampaikan bahwa data kelautan yang diproduksi oleh BIG tersebut telah diberbagipakaikan ke dalam sebuah Marine Geospatial Data Sharing, yang merupakan salah satu dari komponen dalam Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN). Adapun JIGN sendiri, sebagaimana termaktub dengan jelas dalam Perpres No. 27 Tahun 2014, adalah suatu sistem penyelenggaraan pengelolaan IG secara bersama, tertib, terukur, terintegrasi, dan berkesinambungan serta berdayaguna. Maka adalah sebuah keniscayaan untuk bisa digunakan secara nasional bila kemudian berbagai informasi geospasial kelautan di berbagai kementerian dan lembaga itu tidak disimpan dan di-sharing dalam JIGN. (DA/TR)