Data dan Informasi Geospasial (IG) menjadi komponen yang penting dalam perencanaan pembangunan nasional di Indonesia. Dengan wilayah yang luas terbentang dari Sabang sampai Merauke, sangat penting bagi para pengambil keputusan di Indonesia untuk memiliki data yang akurat dan dapat dipertanggung-jawabkan sebagai dasar dalam menentukan arah kebijakan. “Untuk itu pemerintah saat ini menetapkan pentingnya Kebijakan Satu Peta, dan menjadi salah satu prioritas nasional yang tertuang dalam Program Kerja Nawacita”, demikian disampaikan Hasanuddin Z. Abidin, Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) dalam Workshop Geospasial yang diselenggarakan pada tanggal 8 Mei 2017, bertempat di Tarakan, Kalimantan Utara.
Dengan Kebijakan Satu Peta (KSP), maka data dan IG berupa peta akan mengacu pada Satu Georeferensi, Satu Geostandar, Satu Geodatabase dan Satu Geocustodian (Satu Geoportal) pada tingkat akurasi skala peta 1:50.000. Selama ini masalah dalam pembangunan dan penataan nasional adalah adanya tumpang tindih lahan dan tidak meratanya pembangunan, yang disebabkan oleh tidak standar atau tidak samanya peta yang digunakan sebagai dasar perencanaan. “Perspektif KSP ini dapat digunakan sebagai pengungkit dalam mewujudkan keadilan ruang untuk pembangunan nasional”, ujar Hasanuddin.
Keseriusan pemerintah dalam menciptakan pembangunan nasional yang berimbang dan menyeluruh diwujudkan dengan ditetapkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres-RI) Nomor 9 Tahun 2016, tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000. Dengan diterbitkannya peraturan tersebut, maka tugas BIG sebagai penyelenggara utama IG Dasar (IGD) di Indonesia menjadi semakin mendesak, IGD yang dibutuhkan sebagai data dasar dalam KSP harus segera diselesaikan dengan skala 1:50.000, bahkan mungkin ke depannya sampai skala 1:1.000. Selaras dengan amanah yang diemban BIG yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang IG. Selain BIG, kerja sama dengan pihak lain seperti Kementerian/Lembaga (K/L) dan Pemerintah Daerah sebagai walidata juga sangat penting. Karena data tersebut yang akan digunakan sebagai IG Tematik (IGT) dalam penyusunan Satu Peta (One Map).
Dengan mengangkat tema “Kerjasama Pemerintah Provinsi dengan BIG Dalam Rangka Pembangunan Simpul Jaringan untuk Mendukung Kebijakan Nasional Satu Peta” Kepala BIG, Hasanuddin Z. Abidin menyampaikan bahwa dukungan pemerintah provinsi sangat penting. Kondisi IGT saat ini banyak duplikasi kegiatan antara K/L; Judul peta sama, klasifikasi berbeda; Judul peta berbeda, informasi sama; Tema sama, informasi keruangan berbeda; Keterbatasan IGT; Inkonsistensi skala peta; SNI Peta Tematik masih terbatas; serta keterbatasan IGD skala Besar. Hasanuddin kemudian memberi contoh bagaimana tumpang tindih perijinan multi sektor di Kabupaten Paser Kalimantan Timur. Diperlihatkan bagaimana Izin Sektor Minerba, Izin Sektor Kehutanan, dan Izin Sektor Pertanahan saling tumpang tindih. Maka dari itu KSP sangat dibutukan terutama untuk menciptakan pemantapan pembangunan nasional melalui pengendalian konflik ruang. Hasunddin juga menyampaikan, “Dengan KSP, maka inventasi juga semakin meningkat karena adanya data yang handal, sehingga mampu mendorong aktivitas pembangunan ekonomi, dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi”.
Ada 3 tahapan dalam mewujudkan KSP, yaitu tahap kompilasi, integrasi, dan sinkronisasi. Dimana pada tahap kompilasi dilakukan pengumpulan peta tematik oleh K/L, lalu integrasi adalah overlay peta tematik ke atas peta Rupabumi Indonesia (RBI) skala 1:50.000 dan memastikan kesesuaian antara peta tematik dan peta dasar. Sementara sinkronisasi adalah superimpose, analisa tumpang tindih antar peta tematik yang telah terintegrasi dan penyelesaian isu terkait tumpang tindih peta. KSP sendiri telah dilaksanakan pada tahun 2016 lalu untuk wilayah Pulau Kalimantan, dan dihasilkan 78 peta tematik, dimana telah terintegrasi 63 peta tematik, dan dalam proses 15 peta tematik. Untuk tahun 2017 ini target KSP adalah untuk pulau Sumatera, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara.
Dimana yang menjadi fokus pelaksanaan KSP di tahun 2017 adalah, Pertama, penyelesaian proses Sinkronisasi peta di Kalimantan, yaitu : menyelesaikan masalah perubahan pada Peta Pola Ruang RTRW berikut Perda RTRW-nya, menyelesaikan masalah tumpang tindih perizinan (izin lokasi, HGU, HGB, Izin Usaha Perkebunan, dan lainnya) terhadap Batas Wilayah, Wilayah Kehutanan, dan Perda RTRW, serta menyelesaikan Peta Batas Desa dan Tanah Ulayat, sekaligus untuk mendukung pelaksanaan kebijakan Reforma Agraria di Kalimantan. Kedua, penyelesaian proses Kompilasi dan Integrasi untuk Sumatera, Sulawesi, Bali dan NusaTenggara : penyelesaian isu-isu Batas Wilayah, Wilayah Kehutanan, dan RTRW; penyelesaian masalah tumpang tindih perizinan (izin lokasi, HGU, HGB, Izin Usaha Perkebunan, dan lainnya) terhadap Batas Wilayah, Wilayah Kehutanan, serta Perda RTRW di Sumatera, Sulawesi, Bali dan NusaTenggara. Ketiga, Penyelesaian Peta Batas Desa dan Tanah Ulayat, sekaligus untuk mendukung pelaksanaan kebijakan ReformaAgraria di Sumatera, Sulawesi, Bali dan NusaTenggara. Keempat, pengembangan jaringan berbagi-pakai (sharing) IG terhadap seluruh peta tematik hasil integrasi dan sinkronisasi.
“Untuk memudahkan dalam berbagi pakai data dan IG, maka dibentuklah Jaringan Infrastruktur Geospasial Nasional (JIGN)”, tandas Hasanuddin. Berdasarkan Perpres No. 27 Tahun 2014 tentang Jaringan Informasi Geospasial, disampaikan bahwa JIGN berfungsi sebagai sarana untuk berbagi pakai dan penyebarluasan IG, serta sebagai penghubung simpul jaringan. Mengutip mandat dalam UU No. 4 Tahun 2011 tentang IG, jaringan IG pusat dilaksanakan oleh BIG, sementara jaringan IG daerah dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan diintegrasikan dengan jaringan IG pusat oleh BIG. Kemudian dituangkan pula dalam Perpres No. 9 Tahun 2016, tentang Percepatan Pelaksanaan KSP pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000, bahwa tim pelaksana KSP mempunyai tugas untuk menyusun mekanisme berbagi data IGT melalui JIGN, dan walidata IGT mempunyai tugas untuk mengelola dan memberikan akses berbagi data IGT melalui JIGN.
Pada Perpres No. 9 Tahun 2016 dituangkan pula bahwa Desember 2017 merupakan batas waktu terselesaikannya dokumen Grand Design KSP, yang mengacu pada konsep berbagi data melalui JIGN. Sementara Februari 2019 merupakan batas waktu penyediaan data set IGT Nasional untuk berbagi pakai melalui JIGN. “Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan persiapan untuk penyelenggaraan JIGN mulai dari sekarang”, jelas Hasanuddin. Maka dari itu BIG telah menyelenggarakan simpul jaringan, Pusat Pengembangan Infrastruktur Data Spasial (PPIDS), dan Ina-Geoportal untuk mendukung proses berbagi pakai data. Dari target 600 simpul jaringan, saat ini baru 10% yang telah diselesaikan.
Dengan tugas yang masih panjang tersebut, dukung pemerintah provinsi sangat penting untuk mewujudkan JIG Daerah (JIGD). Untuk memenuhi mandat, ada 5 pilar utama dalam JIGN, yaitu hukum dan kebijakan; pengaturan kelembagaan; sumberdaya manusia (SDM); teknologi; dan standar. “Secara umum masih dibutuhkan upaya identifikasi dan inventarisasi penetapan unit kerja oleh masing-masing K/L agar didapatkan data yang lebih akurat untuk menentukan upaya-upaya selanjutnya”, ujar Hasanuddin. Hasanuddin kemudian menjelaskan kondisi simpul jaringan sebagai contoh kepada para peserta workshop.
Workshop Geospasial ini sangat penting terutama dalam rangka untuk mensosialisasikan penyelenggaraan IG, termasuk regulasi, kebijakan, dan peraturan turunannya. Ke depannya semoga semakin banyak K/L atau pemerintah daerah yang semakin aware terhadap pentingnya IG dan terus mendukung penyelenggaraan IG yang akurat di daerahnya dengan menjadi simpul jaringan maupun PPIDS yang terhubung dalam JIGN. Semoga workshop ini dapat memberikan pengetahuan dan menjadi titik tolak dalam penyelenggaraan IG yang akurat dan handal untuk mendukung pembangunan nasional yang efektif dan efisien. (LR)