Jakarta, Berita Geospasial - Menutup tahun 2016, Badan Restorasi Gambut (BRG) menetapkan strategi transformasi dari tahap persiapan restorasi gambut menuju fase implementasi penuh. Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai penyelenggara utama Informasi Geospasial (IG) di Indonesia, sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang IG, memiliki peran terkait restorasi gambut terutama dalam hal menyediakan data dasar yang akan digunakan sebagai landasan dalam pemetaan lahan gambut. Dengan diselenggarakannya Simposium Lahan Gambut Internasional, pada hari Kamis tanggal 15 Desember 2016 yang lalu di Jakarta, menjadi saat yang tepat untuk menetapkan terkait pemetaan lahan gambut di Indonesia.
Kepala BRG Nazir Foead menegaskan, “Saat ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan transformasi dari skala percontohan (pilot) menuju ke skala restorasi yang lebih besar; dari intervensi yang dilakukan secara tunggal menjadi terintegrasi dan kolaboratif; dari upaya restorasi yang berbasis ilmu pengetahuan ke upaya restorasi yang lebih popular; dan dari mekanisme pendanaan melalui donor individual atau pemerintah ke mekenasime pendanaan yang lebih inovatif.” Hal tersebut disampaikannya pada saat pembukaan simposium.
Simposium yang diselenggarakan oleh BRG ini dihadiri sekitar 300 peserta dari perwakilan pemerintah pusat dan daerah, sektor swasta, akademisi, para ahli, dan masyarakat sipil. Simposium ini bertujuan untuk menghimpun pengetahuan, jaringan, institusi, dan sumber daya yang tersedia menuju aksi restorasi lahan gambut di Indonesia yang terintegrasi.
Dijelaskan pula oleh Nazir Foead bahwa pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 57 Tahun 2016 yang merupakan perubahan terhadap PP No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Perubahan ini dilakukan untuk memperkuat kebijkan perlindungan fungsi ekosistem gambut, serta untuk mempertegas titik penataan dalam mengukur muka air tanah untuk menentukan kerusakan gambut. Lebih jelas lagi, PP yang baru ini menegaskan tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah dan para pihak dalam pemulihan gambut. Pemerintah juga menegaskan sanksi administratif antara lain melalui pengambil-alihan sementara areal gambut yang terbakar.
Pada awal acara Kepala BIG, Hassanuddin Z. Abidin memberikan sambutan kepada para peserta simposium. Pada sambutannya kepala BIG menjelaskan tentang degradasi dan kebakaran lahan gambut di Indonesia telah menyebabkan lepasnya karbon dalam jumlah besar ke atmosfer bumi. Menurut dokumen NDC Indonesia, 63% emisi Indoemsia berasal dari perubahan peruntukamn lahan serta kebakaran gambut dan hutan. Menurut data kaji Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dari Bappenass, emisi karbon lahan gambut dari pembusukan gambut dan kebakaran gambut menyumbang sekiranya 42% dari seluruh emisi di Indonesia. “Diperlukan transformasi dalam mengelola lahan gambut. Langkah pertama adalah dengan memetakan lahan gambut secara cepat dan akurat, namun juga ekonomis, mengingat luasnya bentang lahan gambut di Indonesia”, tandas Hassanuddin.
Kemudian diberikan pula pengantar tentang Indonesian Peat Prize yang diadakan oleh BIG. Indonesian Peat Prize meruapakan kompetisi yang bertujuan menemukan metode untuk mengukur luasan dan ketebalan gambut secara lebih cepat, akurat dan terjangkau. Metode pemenang kompetisi ini akan diperimbangkan untuk memperharui Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang pemetaan gambut skala besar.
Pemetaan lahan gambut akan memberikan informasi yang diperlukan dalam mengelola lahan gambut secara efisien dan efektif, termasuk dalam melakukan berbagai kegiatan restorasi yang dibutuhkan. Adapun metode pemetaan yang dihasilkan dari kompetisi Indonesian Peat Prize akan mampu memproduksi peta gambut dengan skala 1:50.000 yang bermanfaat untuk mengidentifikasi area lahan gambut yang harus dikonservasi dan dapat dibudidayakan secara lestari kedepannya.
“Saat ini, komptisi telah memasuki tahap kedua, yaitu tahap pengembangan solusi, dimana 10 tim sedang mengujicoba metode mereka masing-masing di lapangan”, tambah Hassanuddin. Harapannya melaui kompetisi ini, akan muncul inovasi pada metode pemetaan lahan gambut yang berguna bagi pengelolaan lahan gambut di Indoensia di masa yang akan datang.
Arsyadjuliandi Rachman, Gubernur Riau, menyatakan komitmen provinsinya untuk bekerja sama dalam mendukung restorasi gambut. “Kami menyambut baik penyempurnaan regulasi dan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat sebagai terobosan baru untuk perlindungan dan pengelolaan eksositem gambut. Harapannya, penguatan regulasi ini dapat memberi dorongan bagi daerah untuk bersama-sama melakukan upaya restorasi lahan gambut”, ujarnya. Kegiatan aksi restorasi di tingkat tapak (tanah) terutama di ruang kelola masyarakat perlu terus diperluas menjadi sebuah gerakan bersama. Dukungan BRG dan perguruan tinggi telah dirasakan, khususnya di Kabupaten Kepulauan Meranti.
Dalam Simposium Internasional ini pelaku dunia usaha kehutanan dan perkebunan mempertegas peran mereka dalam perlindungan kubah gambut utuh di dalam area konsesinya. Tercatat ada 489.000 hektar areal berkubah yang akan dilindungi. Pemegang konsesi juga akan terus melakukan restorasi hidrologis dan/atau vegetasi seluas 910.000 hektar. Sejalan dengan perintah PP No. 57 Tahun 2016, BRG mengarahkan pemegang konsesi melakukan restorasi gambut di arealnya. Aksi restorasi gambut merupakan pula bagian gerakan sosial untuk kepedulian pada lingkungan dan kemanusiaan. “Lewat proses restorasi lahan gambut yang meliputi pembasahan, penanaman kembali, dan peningkatan ekonomi masyarakat untuk kesejahteraan, merupakan upaya nyata dalam mewujudkan Indonesia Sejahtera,” tutup Margiono, Ketua Umum Panitia Pusat Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional 2016. (HA/LR)