(Berita Geospasial – Cibinong, 3 Januari 2017) Kebijakan Satu Peta (KSP) atau One Map Policy (OMP) merupakan amanat dari pemerintah kepada Badan Informasi Geospasial (BIG) yang bertujuan untuk mewujudkan penyelenggaraan Informasi Geospasial (IG) yang berdayaguna melalui kerja sama, koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi, serta mendorong penggunaan IG dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam berbagai aspek kehidupan. Kepala BIG periode 2014-2016, Priyadi Kardono mengatakan bahwa KSP ini berawal dari BIG yang melaporkan bahwa Pemetaan Tata Ruang terutama untuk Kabupaten yang skala 1:50.000 kualitasnya sangat minim. Kemudian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sedang menjabat meminta data Luas Lahan mengenai Peta Vegetasi, kemudian Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP atau UKP4) saat itu, mencari data tersebut dari Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup karena keduanya membuat peta tentang Luas Lahan. Namun setelah digabungkan data dari UKP 4 dengan data dari Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup ternyata berbeda.
Lalu pada tanggal 2 Februari 2016, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan KSP pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk penyelesaian konflik batas wilayah, pemanfaatan ruang, dan mendorong penggunaan IG untuk pembangunan nasional, serta mendukung terwujudnya prioritas Nawacita. Dengan diterbitkannya PerPres tersebut diharapkan pelaksanaan KSP di Indonesia dapat berjalan dengan lebih lancar dan tidak ada lagi konflik karena data yang tidak akurat.
Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Arifin Rudiyanto menyatakan bahwa seluruh perencanaan pembangunan nasional harus berdasarkan data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Data yang dimaksud adalah data statistik dan data spasial. Oleh karena itu, BIG selaku yang diberikan amanat untuk melakukan koordinasi dengan seluruh Kementerian/Lembaga. “Data dan IG yang digunakan memerlukan satu kesepakatan dalam bentuk Kebijakan Satu Peta”, ungkap Arifin.
Adapun Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), San Afri Awang menyatakan bahwa KLHK sangat berkaitan dengan Rupabumi dan Sumber Daya Alam. Di mana salah satu tugas KLHK adalah memastikan bahwa data geospasial adalah data yang penting untuk mengelola dan memanfaatkan SDA hutan di Indonesia. PerPres tersebut sangat membantu dalam pelaksanaan tugas-tugas KLHK.
Konsep KSP adalah untuk menyatukan seluruh informasi peta yang diproduksi berbagai sektor ke dalam satu peta secara integratif. Jadi, tidak terdapat perbedaan atau tumpang tindih formasi dalam peta yang ditetapkan BIG. Peta BIG yang dijadikan sebagai acuan standar, sesuai dengan konsep KSP, yaitu adanya : One Reference, One Standard, One Database, dan One Geoportal.
Konsep Kebijakan Satu Peta juga dirasakan manfaatnya oleh Badan Pertanahan Negara (BPN), sebagaimana dinyatakan oleh Dirjen Pengadaan Tanah BPN, Budi Mulyanto bahwa konsep tersebut begitu bersemangat seperti pemuda Indonesia mengucapkan ikrar Sumpah Pemuda : Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa. Kaitannya dengan Satu Bahasa Spasial sudah seharusnya dilakukan seperti saat ini.
Manfaat yang dicapai melalui kebijakan ini diantaranya mempermudah penyusunan perencanaan pemanfaatan ruang skala luas dengan dokumen Rencana Tata Ruang yang terintegrasi; mempermudah dan mempercepat konflik pemanfaatan lahan termasuk batas wilayah; mempercepat pelaksanaan program-program pembangunan baik pengembangan kawasan maupun infrastruktur; mempermudah dan mempercepat penyelesaian batas daerah seluruh Indonesia; mempermudah dan mempercepat proses percepatan penerbitan perijinan yang terkait dengan pemanfaatan lahan; mempermudah pelaksanaan simulasi yang menggunakan peta seperti mitigasi bencana, menjaga kelestarian lingkungan, hingga keperluan pertahanan; meningkatkan kehandalan informasi terkait lokasi dari berbagai aktifitas ekonomi karena hal ini dapat memberikan kepastian usaha.
Hal ini juga dirasakan oleh Kabupaten Bantul terkait manfaat dari KSP. Bupati Bantul, Suharsono, menyatakan bahwa kabupatennya sudah berperan aktif dalam penggunaan jaringan informasi geospasial nasional sebagai implementasi PerPres No. 9 pada tingkat ketelitian peta skala 1:50.000. Dimana hal itu terlihat dengan anugerah Bhumandalla Award yang didapatkan Kabupaten Bantul dari BIG pada bulan Oktober 2016 lalu.
Kepala BIG, Hasanuddin Z. Abidin menyatakan pihaknya akan melanjutkan pelaksanaan KSP dan setelah Pulau Kalimantan selesai, maka akan dilanjutkan pada tahun 2017 untuk Pulau Sumatera dan Sulawesi, tahun 2018 Pulau Papua dan Maluku, dan terakhir tahun 2019 untuk Pulau Jawa sampai NTT. BIG harus mengantisipasi kemungkinan nanti adanya permintaan One Map Policy untuk skala 1:5.000, karena Rencana Detil Tata Ruang memerlukan skala 1:5.000, Pemetaan Desa butuh skala 1:5.000, dan Reforma Agraria Sertifikasi memerlukan bukan hanya skala 1:5.000 tetapi juga skala 1:2.500 dan skala 1:1.000. “Saat kebijakan dengan skala 1:50.000 ini masih berjalan, ada kemungkinan skala-skala besar berikutnya akan diminta Pemerintah kepada BIG”, demikian diungkapkan Hasanuddin. (ME/LR)