Jakarta, Berita Geospasial BIG - Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa merupakan agenda prioritas pemerintah saat ini, hal itu merupakan terobosan paradigmatik yang menggeser pembangunan dari pusat menuju penguatan daerah pinggiran. Kendati demikian, pembangunan di Indonesia masih terhadang lemahnya koordinasi. Salah satunya adalah koordinasi tahap perencanaan terkait penyelenggaraan Informasi Geospasial. Apalagi peta desa diharapkan menjadi instrumen pembangunan dan koordinasi untuk mempercepat pembangunan desa melalui pendekatan kawasan. Peta desa dapat menjadi basis data sekaligus basis rujukan dalam mengambil kebijakan secara komprehensif, dengan anggaran yang tepat sasaran.
Untuk mengupas masalah Peta Desa lebih komprehensif, Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai penyelenggara utama informasi geospasial (IG) di Indonesia, bekerja sama dengan Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK) menyelenggarakan Focus Groups Disscusion (FGD) dengan tema “Pemetaan Desa, Titik Tolak Mengejar Ketertinggalan Pembangunan Daerah. ”Acara yang berlangsung pada Rabu, 21 September 2016, di Ruang VVIP Gedung II BPPT Lantai 3, Jakarta.
Acara yang dipimpin oleh Wiwin Ambarwulan, Kepala Pusat Penelitian, Promosi, dan Kerja Sama BIG. Sekaligus penanggung jawab kegiatan ini wiwn menyampaikan ucapan terima kasihnya atas partisipasi para wartawan pada acara FGD tersebut. Materi pertama terkait “Perencanaan Pembangunan Desa Berbasis Spasial” dibawakan oleh Sumedi Andono Mulyo, Direktur Daerah Tertinggal, Transmigrasi dan Perdesaan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Kemen-PPN)/Bappenas. Dijelaskan bahwa saat ini masyarakat dan pemerintah desa menghadapi suatu kondisi untuk melakukan suatu perubahan (transformasi) dan sekaligus percepatan (akselerasi). Selain itu, masyarakat dan pemerintah desa juga menghadapi “tsunami” dengan berbagai konsep, peraturan, dan petunjuk pelaksanaan berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan desa. Pembangunan desa dan daerah tertinggal inipun menjadi perhatian utama pemerintah saat ini yang tertuang dalam Nawacita Pemerintahan.
“Saat ini persentase jumlah penduduk perdesaan semakin menurun dari tahun ke tahun bila dibandingkan dengan penduduk perkotaan”, lanjut Sumedi. Sebagai contoh di tahun 2015 ini, sebanyak 59,35% penduduk sudah hidup di kota, dan diprediksi pada tahun 2045, sejumlah 82,37% penduduk akan hidup di kota. Sementara untuk tahap pengembangan perdesaan ada 3 tahapan pengembangan desa secara sosial, ekonomi, dan ekologi, yaitu : dari desa tertinggal, menuju desa berkembang, hingga menjadi desa mandiri. Ini akan dikembangkan menjadi perdesaan berkelanjutan, ataupun perkotaan baru. Adapun permasalahan dalam Pemenuhan Sistem Informasi Desa (SID) Berbasis Geospasial yang sering dihadapi terkait integrasi informasi desa, keamanan dalam pemanfaatan data, pemenuhan dan akses data, serta pendanaan.
Menyusul kemudian adalah paparan dari Suprajaka, Kepala Pusat Standardisasi dan Kelembagaan Informasi Geospasial (PSKIG) BIG yang membawakan materi tentang “Pemetaan Desa, Mengejar Titik Tolak Mengejar Ketertinggalan Ketertinggalan Pembangunan Daerah”. Secara garis besar disampaikan bagaimana urgensi pemetaan desa saat ini yang ternyata penting dalam perencanaan pembangunan secara nasional. Kebijakan BIG dalam penyelenggaraan IG untuk perdesaan dan kawasan perdesaan meliputi dukungan percepatan penyediaan peta desa melalui Kebijakan Satu Peta (KSP) dan dukungan model pemanfaatan peta desa, IG Tematik, dan antar data untuk skema pembangunan melalui pengembangan Sistem Informasi Perdesaan dengan Pemanfaatan Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN).
Suprajaka juga menyampaikan bagaimana status ketersediaan data dan informasi geospasial yang saat ini ada di BIG, yaitu untuk peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:5.000, sebanyak 573 NLP baru tersedia sebesar 1% dari seluruh wilayah Indonesia. Sementara untuk peta dasar Rencana Detil Tata Ruang (RDTR), sebanyak 150 kecamatan telah tersedia, atau sebesar 2% dari jumlah kecamatan di Indonesia, sedangkan terkait batas wilayah yang telah disepakati sebanyak 1.612 batas desa/kelurahan, atau 1,94% dari seluruh wilayah Indonesia.
Disampaikan pula strategi percepatan penyusunan peta desa, antara lain adalah : kepastian hukum penyusunan peta desa; SID untuk basisdata spasial desa, dimana data data desa, data pembangunan desa, kawasan perdesaan, informasi lainnya segera terintegrasi; penyediaan data, pembagian peran, inventarisasi data oleh K/L, penyediaan CSRT, dan prioritas penyusunan peta desa; pemetaan partisipatif untuk membangun sinergitas, dilakukan dengan cara memperluas aktor yang akan melakukan penyusunan peta desa yaitu K/L, Pemda, Perguruan Tinggi (dapat dilakukan KKN Tematik), LSM; Tata Kelola dan Tata Laksana Penyusunan Peta Desa; Keterlibatan Pemda dalam Penyusunan Peta Desa, Keterlibatan mulai dari Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Kecamatan dan Pemerintah Desa.
Narasumber berikutnya adalah Gunalan, Direktur Pembangunan Sarana dan Prasarana Desa, Ditjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemen DPDTT). “Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi dimandatkan untuk mengawal Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan perwujudan Nawacita ke-3 : Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan,” demikian diungkapkan Gunalan pada awal paparannya. Dalam presentasinya Gunalan menyampaikan bahwa peta merupakan salah satu sumber dalam melakukan perencanaan pembangunan, peta diperlukan untuk menggambarkan bentang alam dan kondisi tertentu negara Indonesia.
Pemetaan desa ini sangat penting mengingat urgensinya untuk mengetahui posisi desa terhadap kawasan di sekitarnya, melihat potensi desa, menyelesaikan sengketa batas wilayah, inventarisasi aset desa dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa, membantu perencanaan pembangunan infrastruktur desa, serta sebagai dasar informasi untuk integrasi spasial pembangunan wilayah. “Meskipun demikian dalam implementasinya masih terdapat beberapa kendala terutama terkait KSP”, tutur Gunalan.
Namun demikian terdapat beberapa solusi yang bisa dilaksanakan seperti : Percepatan Penyelenggaraan IGD dengan melibatkan Kementerian/Lembaga/Pemda sebagai kontributor khususnya penyelenggaran IGD skala besar; Percepatan penyediaan kebutuhan SDM IG melalui kerjasama dengan sekolah kejuruan, perguruan tinggi maupun industri IG; Penyusunan perencanaan penyelenggaraan IG perlu dilaksanakan melalui Satu Pintu; Percepatan Pembangunan JIGN (Jaringan Informasi Geospasial Nasional) agar mencakup seluruh Kementerian/Lembaga/Pemda sebagai simpul jaringan informasi geospasial; Meningkatkan pembinaan dan koordinasi penyelenggaraan IGT melalui Kelompok Kerja (Pokja IGT); dan Membangun dan meningkatkan kesadaran berbagi pakai data melalui sosialisasi dan bimbingan teknis. Acara FGD hari itupun ditutup dengan sesi tanya jawab dan penyerahan cinderamata kepada seluruh narasumber yang telah hadir. Diharapkan FGD ini dapat menjadi landasan untuk meingkatkan pemetaan desa di Indonesia ke depannya, terutama dalam rangka mendukung pembangunan desa dan daerah tertinggal. FGD ini dilaksanakan juga untuk memberi bekal materi kepada para wartawan untuk menulis artikel dengan tema pemetaan desa yang sedang dilombakan oleh BIG bekerjasama dengan MAPIPTEK dalam rangka Hari Informasi Geospasial Tahun 2016. (LR/TR)