Rabu, 06 November 2024   |   WIB
id | en
Rabu, 06 November 2024   |   WIB
Hadapi MEA, BIG Siapkan Roadmap Pengembangan SDM dan Industri Informasi Geospasial

Cibinong, Berita Geospasial BIG - Peran Sumber Daya Manusia (SDM) dan industri geospasial sangat vital dalam mengelola kekayaan alam Indonesia. Namun, sampai sejauh mana kemampuan dan kompetensi SDM, serta industri geospasial yang berkecimpung di bidang geospasial di Indonesia ini masih perlu diperhatikan dan dikaji. Saat ini ada kebutuhan mendasar bagi Indonesia untuk segera mempercepat pembangunan SDM khususnya di bidang Informasi Geospasial, agar tidak semakin tertinggal dengan negara lain. Badan Informasi Geospasial yang memiliki peran dalam bidang pembinaan IG, juga memahami betul urgensi tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut, BIG menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Roadmap Pengembangan SDM dan Industri Informasi Geopasial (IG), pada Senin, 10 Agustus 2015 yang berlangsung di Aula Utama Gedung S Lantai 2 BIG.  "Tidak lama lagi kita akan menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Persaingan dalam pasar tenaga kerja menjadi lebih luas dan menuntut kualitas SDM yang prima dan siap bersaing", demikian disampaikan oleh Suprajaka, Kepala Pusat Standardisasi dan Kelembagaan Informasi Geospasial (PSKIG) BIG, dalam sambutan pembukaan FGD.  Pengembangan SDM memang tidak boleh bersifat sporadis dan tanpa dasar. Riset yang dilakukan oleh Prof. Fahmi Amhar, Profesor Riset BIG, telah ditindaklanjuti dengan menyusun Roadmap Pengembangan SDM dan Industri IG dimana di dalamnya dilakukan penyebaran kuesioner untuk mengetahui kondisi teraktual kualitas dan kuantitas SDM dan industri IG nasional.

Suprajaka kemudian menambahkan, “Jika SDM IG tidak disiapkan dengan baik maka nantinya akan sulit mengatasi kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi mendorong penyediaan produk IG yang cepat, namun dengan tanpa didukung oleh SDM yang berkualitas, maka tidak bisa didapatkan produk yang berkualitas. IG yang tidak dibuat oleh SDM dan Industri yang benar akan menyebabkan terciptanya sampah geospasial”. FGD tersebut dihadiri oleh beberapa narasumber terkait, antara lain : perwakilan dari Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Pertanian (Kementan), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Departemen Geografi Universitas Indonesia, Wetland Internasional, LSP Geomatika dan beberapa perusahaan yang bergerak di industri IG.  Selanjutnya, Kepala Bidang Pengembangan SDM dan Industri IG PSKIG BIG, Sumaryono, menambahkan, “untuk menuju persaingan pasar tenaga kerja, setidaknya kita mengetahui kondisi dan kemampuan SDM dan Industri kita terlebih dahulu. Pembangunan SDM dimulai dari baseline untuk menuju benchmark yang ingin dicapai. Selisih antara baseline dan benchmark itu yang akan kita upayakan dengan berbagai hal”.

Dalam kesempatan tersebut perwakilan dari BPN mengungkapkan bahwa saat ini posisi SDM IG di BPN masih tertinggal jika dibanding dengan negara lain. Data bidang tanah di Indonesia belum bisa diketahui dengan pasti, dan bentuk datanya belum sesuai dengan standar yang berlaku. Berbagai permasalahan terkait perhitungan bidang tanah seringkali muncul dikarenakan adanya berbagai kesulitan, seperti : duplikasi pengukuran, sertifikat yang sudah mati masih terhitung, dan bidang tanah tidak dipetakan di tempat yang benar. Bila dibandingkan dengan akurasi pengukuran, negara tetangga Malaysia dan Singapura masih jauh lebih baik, mengingat akurasi mereka sudah sampai 1,5 mm. Untuk jumlah SDM IG di BPN juga dirasa masih kurang. Sarjana IG sampai dengan juru ukur belum mencukupi dan seringkali tidak ditempatkan sesuai kompetensinya.

Terkait kondisi SDM IG di Kementan dijelaskan oleh Paulus bahwa kendala yang dihadapi adalah mengenai pemenuhan SDM yang tidak tepat. Kekurangan SDM IG menyebabkan pekerjaan IG dikerjakan oleh SDM lain yang tidak memiliki latar belakang pendidikan IG, dan hanya diberikan sedikit pengantar untuk melakukan pekerjaan. SDM IG yang diminta sering kali ditempatkan di bagian yang kurang tepat sehingga tidak bisa membantu pekerjaan IG. Kementan mendorong peran serta BIG sebagai Penanggungjawab Jabatan Fungsional Surveyor Pemetaan (Jabfung Surta), agar lebih memperhatikan kesejahteraan jabfung surta mengingat beban pekerjaan yang cukup berat.

Menindaklanjuti hal tersebut, Badawi dari LAPAN juga mengatakan bahwa Indonesia bisa mencontoh Jepang yang sudah melakukan standardisasi sejak 1997, termasuk di dalamnya tentang kebijakan. Menurutnya, standar diperlukan sebagai acuan sebelum melakukan suatu kegiatan. “Permasalahan lain, seringkali SDM yang ada hanya memanfaatkan teknologi dan melupakan ilmu yang dimilikinya”, ujarnya. Badawi juga berpesan bahwa standar mutu instansi IG di luar negeri perlu diketahui, untuk menentukan dan menyesuaikan dengan kebutuhan benchmark SDM dan Industri IG nasional.

Berdasarkan ulasan oleh para narasumber pada acara tersebut dapat disimpulkan bahwa SDM IG yang ada masih sangat kurang, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Salah satu kualitas SDM yang sampai saat ini belum banyak disentuh adalah menyangkut aspek mental budaya kerja dan sikap kerja. Untuk itu diharapkan dari hasil riset dan kuesioner yang sedang dilakukan oleh PSKIG BIG ini, bisa menggambarkan kondisi baseline dalam rangka penyusunan roadmap SDM dan Industri IG Nasional menuju daya saing global. (DAK/LR/TR)