Rabu, 06 November 2024   |   WIB
id | en
Rabu, 06 November 2024   |   WIB
Dengan Informasi Geospasial, Konflik Sosial Sengketa Batas Wilayah Bisa Diminimalisir

Seiring dengan banyaknya daerah yang memekarkan diri di Indonesia, banyak pula permasalahan yang turut muncul.Permasalahan ini menuntut adanya penyelesaian yang komprehensif pula.Salah satunya yaitu adanya konflik batas wilayah yang menjadi konsekuensi logis dari adanya pemekaran. Memang, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah disebutkan bahwa daerah mendapat peluang untuk melakukan pemekaran wilayah. Sayangnya, seringkali terjadi pemekaran wilayah yang menimbulkan konflik,  bahkan sampai pada tahap kekerasan. Badan Informasi Geospasial turut berperan penting dalam proses pemekaran wilayah ini, terutama terkait perannya sebagai penyedia informasi geospasial di Indonesia, seperti misalnya peta batas wilayah. Batas wilayah ini sangat penting terutama dalam menentukan perbatasan antar dua daerah, sekaligus untuk menentukan alokasi dana bagi daerah-daerah tersebut. Apalagi peta batas wilayah yang telah diverifikasi BIG merupakan salah satu unsur yang harus ada bila ingin membentuk Daerah Otonomi Baru (DOB).

Permasalahan terkait konflik dan sengketa antar wilayah ini rupanya menarik peneliti dari Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia (Balibang HAM), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM RI)  untuk melakukan penelitian. Hasilnya adalah sebuah penelitian berjudul "Potensi Konflik Sosial yang Bersumber dari Sengketa Batas Wilayah di Era Otonomi Daerah", oleh Denny Zainuddin dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Transformasi Konflik Kemenkum HAM RI. Hasil penelitian ini kemudian didiseminasikan pada Kamis, 19 November 2015 lalu di Kantor Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU), Kemenkum HAM RI, di Jakarta Selatan.

Secara garis besar, disampaikan bahwa faktor-faktor yang menjadi kendala sehingga pemerintah daerah belum bisa menyelesaikan konflik tata batas wilayah antar kabupaten adalah terkait belum adanya kesepakatan titik batas (koordinat) dari kedua kabupaten yang bersebelahan, alokasi anggaran dari APBD provinsi untuk memfasilitasi penyelesaian tata batas sangat terbatas, serta masih kurangnya SDM yang menguasai teknisi pemetaan di daerah serta masih kurangnya sarana dan prasarana teknis pemetaan di daerah.

BIG sebagai penyelenggara IG, banyak terkait secara teknis dengan hasil penelitian ini.Secara spesifik adalah dengan Pusat Pemetaan Batas Wilayah (PPBW) BIG, dimana Tri Patmasari sebagai Kepala Pusatnya.  Pada kesempatan itu, Sari nama panggilan Tri Patmasari, yang menjadi pembahas utama atas penelitian tersebut menyampaikan bahwa euforia dan lonjakan pemekaran daerah meningkat pesat sejak  digulirkannya kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah melalui UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah  diperbarui dengan UU No 32 /2004. Dimana kemudian diperbarui lagi dengan UU 23 /2014 tentang Pemerintah Daearah.Ditengah-tengah kontroversi pemekaran daerah yang merupakan isu aktual dalam implementasi otonomi daerah, berbagai daerah pun terus berpacu memekarkan diri.

Dari kurun waktu tahun 1999 hingga kini, Indonesia telah memiliki 34 provinsi, dan ± 586 kabupaten/kota. Hasil evaluasi  kajian Kemendagri menyebutkan bahwa 65 % daerah otonom gagal berkembang. "Bahkan informasi yang saya peroleh, Kemendagri menerima 87 usulan daerah otonom dari DPR,  belum usulan dari masyarakat", ungkap Sari. Ditambahkan juga bahwa sebenarnya tidak ada yang salah dengan pemekaran karena tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan yang lebih baik, dan meningkatkan demokratisasi di tingkat lokal.Namun kenyataannya, pemekaran belum mampu meningkatkan akselerasi pembangunan dan pelayanan publik, bahkan cenderung menambah beban keuangan negara, demikian diungkapkan Sari.

Dengan luas wilayah Indonesia yang sangat luas, pembagian wilayah daerah di Indonesia hingga kini sebanyak  34 provinsi, 415  kabupaten dan 98 kota, serta jumlah desa lebih dari 74.000, dimana masih banyak segmen yang  belum dilakukan penataan batas secara menyeluruh. Untuk segmen batas provinsi/kabupaten/kota baru diselesaikan sekitar 30 %.Solusinya adalah adanya ketersediaan peta dasar/RBI dengan skala yang memadai dan akurat di seluruh Indonesia.Saat ini peta RBI skala menengah yang sudah tersedia adalah skala 1:25.000 dan 50.000, yang dapat digunakan untuk delineasi garis batas.Garis batas yang tertera di peta RBI adalah masih merupakan batas indikatif, jadi belum dilakukan penegasan batas.  Namun demikian, garis batas tersebut sudah menjadi referensi sebagai garis batas yang definitif.Sehingga hal inilah yang kadang-kadang menjadi masalah sumber dispute/konflik."Diperlukan terobosan percepatan dan penanganannya", tambah Sari.

Lebih lanjut, Sari menyarankan bahwa untuk mengurangi konflik batas daerah yang disebabkan lampiran dari peta batas, maka peta lampiran yang dipakai sebagai lampiran UU pembentukan daerah harus disiapkan oleh instansi teknis yang berwenang, dalam hal ini BIG atau sudah memenuhi aspek kartografis dan geometris. Sebaiknya sebelum dimekarkan, penegasan garis batas antara wilayah induk dan yang akan dimekarkan sudah dilakukan untuk meminimalisir konflik garis batas. Salah satu strategi percepatan penataan batas yang saat ini telah dilaksanakan oleh BIG dalam penataan batas desa /kab/kota /prov adalah secara kartometrik, yaitu dengan delineasi garis batas di atas Citra Satelit Tegak Resolusi Tinggi (CSRT) yang di-overlay-kan dengan peta RBI dimana batas bisa berupa natural boundary or artificial boundary.  Tentunya ketersediaan Peta RBI dan CSRT sangat penting dalam percepatan penataan dan penegasan batas daerah untuk meminimalisir konflik batas.

Akhirnya perlu kerjasama yang sinergis dan optimal antara BIG, Kemdagri dan Pemda dalam peningkatan SDM dalam mendukung penataan batas. Selain itu, perlu juga dipikirkan grand strategi penataan daerah di Indonesia yang dapat dijadikan sebagai bahan bagi pemerintah dan stakeholder lainnya dalam penyusunan kebijakan penataan daerah, hingga tahun 10 tahun atau 25 tahun ke depan. Nantinya, hasil penelitian ini akan dibukukan untuk dijadikan sebagai rujukan bagi para pemangku kepentingan untuk mengambil keputusan. Tentunya, merupakan keputusan yang pro rakyat karena tujuan dari dari pembangunan adalah menjamin kesejahteraan bangsa. (ATM/LR/TR)