Selasa, 26 November 2024   |   WIB
id | en
Selasa, 26 November 2024   |   WIB
Pemetaan LPI Skala Besar untuk Mendukung Pembangunan Poros Maritim di Indonesia

Cibinong, Berita Geospasial BIG - Sesuai dengan program pemerintahan saat ini untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, BIG mempunyai peran yang sangat strategis.  Peran tersebut adalah dalam penyelenggaraan informasi geospasial dasar wilayah laut dan lingkungan pantai di Indonesia. Informasi geospasial dasar tersebut adalah Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) dan Lingkungan Laut Nasional (LLN).  Untuk itu perlu dilakukan pemetaan LPI skala besar guna mendukung pembangunan tol laut nasional dalam mendukung poros maritim dunia. 

Hal tersebut ditindaklanjuti BIG bersama dengan K/L lainnya dalam mewujudkan cita-cita di atas.  Kegiatan di atas sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (UU-IG), yang menyebutkan bahwa penyediaan Peta LPI dilakukan hingga skala 1:1.000. Menindaklanjuti amanat UU-IG ini maka BIG pada tahun 2015 ini menyelenggarakan tahapan pertama untuk membuat Peta LPI Skala 1:10.000.  Untuk memperlancar kegiatan tersebut, maka pada Jumat 10 Juli 2015, kembali dilaksanakan Focus Group Discussion (FGD) dengan bertempat di Kantor Badan Informasi Geospasial (BIG), Cibinong, Bogor. FGD tersebut dilaksanakan dalam rangka Pra Workshop Hasil Kajian Metode Akuisisi Data Hidrografi untuk Mendukung Pemetaan LPI Skala 1:10.000. Turut hadir pada FGD adalah Sekretaris Utama BIG Titiek Suparwati; dan para narasumber dari Dinas Hidro-oseanografi TNI AL (Dishidros) Trismadi dan Gunawan S. Prabowo; dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Gunawan S. Prabowo; dan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Imam Mudita; serta perwakilan dari pusat teknis BIG. 

Titiek menjelaskan bahwa karena belum adanya pemetaan skala besar, maka perlu dilakukan kajian untuk kebutuhan teknis. "Agar para peneliti dapat memberikan manfaat ilmu yang dimiliki kepada para pelaksana teknis", jelasnya. Dishidros sendiri diketahui sudah pernah melakukan pemetaan skala besar hingga skala 1:1.000, sehingga perlu menjadi narasumber agar dapat memberikan masukan untuk pemetaan LPI skala besar yang akan dilakukan oleh BIG. Selanjutnya, Kepala Bidang Pemetaan Lingkungan Pantai BIG, Dwi Sigit Purnomo memaparkan bahwa pekerjaan survei dan pemetaan LPI skala 1:10.000 ini bertujuan sebagai prototipe untuk pembuatan Kerangka Acuan Kerja (KAK) pada pekerjaan pemetaan LPI skala besar berikutnya. Kegiatan ini dilaksanakan untuk menghasilkan output Peta LPI skala 1:10.000 sekaligus menjadi kajian untuk peningkatan kualitas KAK Peta LPI skala 1:10.000.  

Sementara itu Nursugi, Ketua Tim Teknis Survei Hidrografi untuk Pembuatan Peta LPI Skala 1 : 10.000 dari Pusat Pemetaan Kelautan dan Lingkungan Pantai (PKLP) BIG menyampaikan uraiannya terkait kegiatan survei yang telah dilaksanakan pada bulan Maret lalu. Survei tersebut dilakukan di wilayah Kecamatan Cilebar dengan tahapan kegiatan survei yang meliputi penentuan dan pengukuran titik kontrol; pengukuran pasut; survei batimetri dengan Singlebeam Echosounder (SBES) dan Side Scan Sonar (SSS); survei batimetri dengan Multibeam Echosounder (MBES); pengukuran shallow sounding; pengukuran data arus; pengambilan data sifat fisik air laut; pengambilan data sampel sedimen laut; dan pengukuran garis pantai.

Selama kegiatan survei ada beberapa kendala yang dialami, antara lain kegiatan akuisisi data dengan MBES yang tidak berhasil; pemotretan garis pantai dengan UAV yang belum berhasil; peta RBI skala 1:10.000 untuk wilayah kegiatan yang belum siap untuk digunakan. Strategi yang dirancang untuk mengatasi kendala tersebut antara lain dengan pemotretan garis pantai dengan LAPAN Surveillance UAV (LSU) 01 dan 02 kerja sama dengan LAPAN pada bulan Agustus 2015 dan pendijitasian foto udara tahun 2014 sebagai alternatif pengganti sementara sampai dengan adanya Peta RBI yang dibutuhkan. Dari kegiatan survei hidrografi tersebut saat ini semua tahapan akuisisi data sudah dilaksanakan dan sudah memasuki tahapan pengolahan data.  Kegiatan telah mencapai 65% menuju penyelesaian, dengan solusi yang telah dijelaskan sebelumnya diharapkan kegiatan dapat dilanjutkan dengan lancar, harapan Nursugi.

Setelah mendengarkan presentasi tersebut, Dwi Sigit Purnomo lalu membuka sesi diskusi dengan menyampaikan beberapa point untuk ditanggapi oleh para narasumber. Trismadi dari Dishidros menyampaikan bahwa pemilihan lokasi survei di Cilamaya sebenarnya sudah di-warning oleh Kepala Dishidros karena jelas digambarkan pada peta laut yang dimiliki Dishidros daerah tersebut adalah daerah terlarang karena banyaknya pipa milik pertamina, yang terlihat pada peta skala 1:200.000 terbitan Dishridos. Ia kemudian juga menyebutkan tanggapannya terkait survei hidrografi tersebut. Sementara dari Imam Mudita dari BPPT menjelaskan bahwa solusi untuk pemetaan skala besar bisa menggunakan LIDAR. Sementara itu Ari Gunawan dari LAPAN mengusulkan pemetaan dengan bantuan Unmanned Aerial Vehicle (UAV), dimana diungkapkan bahwa perlu adanya survei lokasi take off dan landing wahana. Adapun ketelitian peta yang dihasilkan dari akuisisi data dengan menggunakan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) tergantung terhadap tinggi terbang.

Hasil FGD ini didapatkan beberapa kesimpulan, antara lain bahwa kegiatan survei hidrografi untuk pembuatan LPI skala 1:10.000 yang dilakukan BIG sudah memenuhi ketentuan teknis sebagaimana diatur dalam IHO 2008; tidak ada keharusan penggunaan MBES untuk survei tersebut meskipun jika menggunakan akan dapat diperoleh data batimetri yang lebih rapat dan liputan dasar laut; pengamatan sampel dasar laut yang dilakukan oleh Pusat PKLP bersamaan dengan survei batimetri memerlukan sinergi dengan Pusat PPIT sebagai upaya untuk penyediaan layer tutupan dasar laut (sea bed cover) yang merupakan salah satu dari 8 layer peta dasar; pemotretan garis pantai dengan LSU 01 dan 02 untuk pemetaan LPI  skala 1:10.000 siap dilaksanakan bekerjasama dengan LAPAN; penggunaan CORS untuk pengukuran posisi titik kontrol dan GCP untuk pemotretan UAV dinilai efisien dan efektif; dan pembuatan BM pada pekerjaan survei hidrografi disarankan agar dilakukan dalam waktu 8 jam atau lebih sehingga datanya dapat digunakan untuk perapatan titik kontrol geodesi.

Dengan didapatkannya beberapa kesimpulan tersebut, FGD pun diakhiri dan di pertemuan berikutnya akan dilanjutkan dengan tema yang berbeda pula. Sehingga nantinya KAK yang dihasilkan untuk pemetaan skala besar LPI dapat disusun dengan baik. FGD ini juga penting dilakukan selain itu meningkatkan koordinasi antar lembaga, juga menjadi ruang untuk saling belajar dan berbagi ilmu antar para ahli di bidangnya. Semoga kegiatan ini dapat terus berlanjut untuk kesempatan berikutnya dalam rangka menghasilkan DG dan IG yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. (LR/TR-SP)