Selasa, 26 November 2024   |   WIB
id | en
Selasa, 26 November 2024   |   WIB
Toponim: Identitas dan Jati Diri Bangsa

Denpasar, Berita Geospasial BIG - Wilayah nusantara atau yang dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki berbagai macam sumberdaya, budaya, suku bangsa, termasuk di dalamnya Bahasa Daerah. Kekayaan Bahasa Daerah di Indonesia tersebut merupakan warisan budaya yang tak ternilai dan perlu dipertahankan. Tak terkecuali dalam penamaan unsur rupabumi, baik alami maupun buatan yang dikenal dengan toponim, harus diperhatikan bahasa yang digunakan, karena setiap nama memiliki arti, makna, dan sejarahnya. Dalam toponimi, nama memiliki arti yang luas dan mendalam, ada unsur-unsur tertentu yang dibawa seperti latar belakang, kondisi lingkungan, budaya setempat, aturan setempat, dan lain-lain. Toponim atau nama rupabumi atau nama geografi adalah nama unsur-unsur topografi atau nama unsur geografi atau nama unsur rupabumi. Sehingga pemberian nama toponim akan menunjukkan identitas dan jati diri suatu bangsa.

Informasi Geospasial (IG), seperti peta, membutuhkan toponim yang akurat, karena sebuah peta tanpa toponim hanyalah sebuah peta buta. Di era globalisasi dengan pergerakan arus informasi yang cepat ini dibutuhkan penamaan toponim yang baku untuk menjadi acuan IG. Toponim merupakan bagian dari IG Dasar yang harus diselenggarakan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang IG. Lebih lanjut sebagaimana tertulis dalam UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, disebutkan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nama geografi di Indonesia; serta berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 39 Tahun 2008, terkait penamaan rupabumi harus menggunakan nama lokal, serta menggunakan Bahasa Indonesia dan/atau Bahasa Daerah. Merujuk pada semua hal itu, BIG mengadakan Seminar Nasional Toponimi pada 28 Mei 2015 di Hotel Grand Inna Kuta, Bali yang dibuka oleh Sekretaris Utama BIG, Titiek Suparwati.

Titiek menjelaskan bahwa toponim merupakan salah satu unsur dalam peta dasar, itu berarti toponim bukan hanya berarti nama tempat dalam suatu peta, tapi lebih bersifat lokasi dan merupakan komponen dari sistem informasi yang terorganisir secara keruangan. "Oleh karena itu penamaan unsur rupabumi harus berdasarkan prinsip penamaan rupabumi", tegasnya. Saat ini semakin maraknya nama gedung, perumahan atau tempat wisata yang mengabaikan prinsip penamaan rupabumi dengan menggunakan nama asing, hal itu tentu tidak sesuai dengan peraturan dan kaidah yang berlaku di masyarakat. "Melalui seminar ini diharapkan berbagai pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan unsur rupabumi, baik instansi pemerintah maupun swasta semakin memahami ketentuan pemberian nama rupabumi", tandas Titiek.

Seminar Nasional Toponimi yang mengambil tema "Penggunaan Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah dalam Pemberian Nama Rupabumi/Nama Geografi" dihadiri oleh 120 peserta dari berbagai instansi pemerintah di 15 provinsi di Indonesia, antara lain perwakilan dari: Provinsi Bali, Bappeda Denpasar, Pemda Buleleng, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sumatera Selatan, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan lain sebagainya. Seminar hari itu dibagi dalam 2 sesi, dimana sesi pertama adalah paparan dari perwakilan BIG dan Kementerian Dalam Negeri (Kemedagri), sedangkan sesi kedua merupakan presentasi dari perwakilan Pakar Dialektologi Universitas Indonesia (UI), serta Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Materi pertama diberikan oleh Rizka Windiastusi, Kepala Bidang Toponimi BIG dengan judul 'Pentingnya Toponim dalam Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah'. Rizka menjelaskan apa itu dan pentingnya toponim, serta bagaimana pembakuan nama rupabumi sebagai tugas bersama. "Nama rupabumi yang akurat, konsisten, dan telah dibakukan, akan dikelola dalam Gasetir Nasional. Gasetir Nasional ini penting sebagai kunci utama untuk IG Nasional, Regional dan Global" ungkapnya. Pemanfaatannya misalnya untuk kebencanaan, dimana dalam penanganannya membutuhkan informasi nama tempat atau nama rupabumi, disinilah peran sebuah nama rupabumi yang telah dibakukan dan terkelola dalam basis data spasial nama rupabumi atau gasetir penting peranannya. Menyadari pentingnya peran toponim tersebut, pemerintah membentuk Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (Timnas PNR) berdasarkan Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2006. Timnas tersebut bertugas untuk menetapkan standar PNR, membakukan secara nasional nama rupabumi dalam bentuk gasetir nasional, memberikan pembinaan kepada pemerintah daerah, dan sebagainya. BIG juga tergabung dalam timnas tersebut sebagai sekretaris.  BIG juga harus mengadakan bimbingan teknis toponimi, terlibat aktif dalam verifikasi nama rupabumi.

Paparan berikutnya disajikan oleh Endah Kastanya, dari Subdit Toponimi dan Data Wilayah II, Ditjen Pemerintahan Umum (PUM) Kemendagri dengan tema 'Kebijakan Pembakuan Nama Rupabumi di Indonesia'. Ia menjelaskan latar belakang dan dasar kegiatan PNR, urgensi pembakuan nama rupabumi, timnas PNR dan panitia provinsi/kabupaten/kota, serta capaian pembakuan nama rupabumi. Endah juga mempresentasikan prosedur pembakuan nama unsur rupabumi yang dimulai dari Camat sebagai narasumber inventarisasi nama rupabumi di wilayahnya. Data tersebut kemudian diserahkan kepada panitia kabupaten/kota yang akan menelaah dan menyerahkan kepada panitia provinsi, lalu panitia provinsi akan menelaah dan menyerahkan kepada Timnas PNR. Selanjutnya Timnas PNR akan melakukan proses pembakuan nama, pengejaan, penulisan nama rupabumi Indonesia, hingga terbit gasetir pembakuan nama rupabumi, hingga akhirnya Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah terkait hal tersebut. Sampai tahun 2013, Timnas telah menetapkan gasetir nasional untuk nama pulau, wilayah adiminstasi, dan unsur alami. "Di tahun 2015-2017 akan ditetapkan gasetir untuk nama unsur buatan. Sedang tahun 2018-2020 akan ditetapkan gasetir untuk nama warisan budaya", ungkap Endah.

Setelah diselingi istirahat, materi ketiga dalam semnas disampaikan oleh Multamia RMT Lauder, Guru Besar UI Pakar Dialektologi Indonesia. Mia, begitu nama panggilannya, memberikan paparan mengenai 'Implementasi UU 24 Tahun 2009 dan Peran Pakar dalam Penamaan Rupabumi'. Ia mempresentasikan materi tentang kajian toponimi dan keterlibatan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB); UU No 24/2009 dan langkah implementasi; PNR; memahami keanekaragaman bahasa; pelacakan unsur generik; dan peran pakar. "Saat ini kajian toponim berkembang pesat sehingga memerlukan pendekatan yang bersifat multidisiplin", demikian diungkapkan Mia. Hal itu terlihat dari keseriusan PBB dalam menangani toponim dengan membentuk dua organisasi, yaitu UNGEGN (United Nations Group of Experts on Geographical Names) dan UNCSGN (United Nations Conference on Standardization of Geographical Names). Tak hanya itu, Indonesia juga telah mengatur penggunaan Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah dalam memberikan nama rupabumi yang tertuang dalam UU 24/2009. Ia mengungkapkan pentingnya diadakan Rakornas yang melibatkan semua pihak untuk segera menyusun pengimplementasian UU tersebut. "Melakukan kajian toponimi bukanlah pekerjaan sepele, justru merupakan  pekerjaan  besar, berskala nasional dan internasional demi ketertiban sosial", pungkas Mia menutup paparannya.

Presentasi keempat dengan tema 'Penggunaan Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah dalam Penamaan Rupabumi', yang merupakan materi terakhir disampaikan oleh Abdul Gaffar Ruskhan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud. Secara garis besar Ia menjelaskan bahwa Bahasa Indonesia (BI) merupakan jati diri bangsa, sementara Bahasa Daerah (BD) merupakan jati diri etnis. Pembakuan nama geografi di Indonesia dilakukan secara sungguh-sungguh dan sinergis oleh instansi terkait, dimana penggunaan BI dalam pemberian nama geografi merupakan perwujudan nasionalisme yang tinggi bagi masyarakat pemakainya, terutama untuk melestarikan dan menghormati masyarakat setempat yang memiliki kearifan lokal yang berharga. "Daripada menggunakan bahasa asing untuk nama perumahan, lebih baik gunakan Bahasa Indonesia, seperti Puri Permata Alam, tentu akan indah", tuturnya. Penerapan kaidah penulisan nama geografi harus dilakukan secara konsisten, apalagi tertuang dalam UU. "Penggunaan bahasa asing dalam nama geografi merupakan bentuk pelunturan rasa nasionalisme, sehingga jati diri bangsa akan "tergadai". Seharusnya, Bahasa Indonesia itu menjadi tuan di negerinya sendiri" pungkasnya.

Diharapkan melalui seminar ini akan didapatkan kesamaan pemahaman terhadap berbagai kebijakan nasional dalam hal pemberian dan pembakuan nama rupabumi, semakin meningkatnya kesadaran penggunaan nama lokal sebagai upaya untuk melestarikan budaya bangsa dan menghormati sejarah masyarakat setempat, dan semakin meningkatnya kesadaran penggunaan Bahasa Indonesia dan/atau Bahasa Daerah untuk menghormati keanekaragaman budaya serta persatuan dan kesatuan nasional. Maka, cintai Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah, karena toponim juga merupakan identitas dan jati diri bangsa. (LR/TR)