Cibinong, Berita Geospasial BIG - Jembatan Selat Sunda adalah salah satu proyek besar berupa pembuatan jembatan yang melintasi Selat Sunda sebagai penghubung antara Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera. Analisis dampak apabila pembangunan ini dilakukan dapat dianalisis dengan menggunakan informasi geospasial. Badan Informasi Geospasial menyajikan model spasial dinamis untuk mengetahui dampak pembangunannya di masa datang.
Proyek besar ini awal dicetuskan pada tahun 1960 yang merupakan bagian dari proyek Asian Highway Network (Trans Asia Highway and Trans Asia Railway). Dana proyek pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) direncanakan berasal dari pembiayaan konsorsium diperkirakan menelan biaya sekitar 150 triliun rupiah.
Menurut rencana panjang, JSS ini mencapai panjang keseluruhan 31 km dengan lebar 60 m, masing-masing sisi mempunyai 3 lajur untuk kendaraan roda empat dan lajur ganda untuk kereta api akan mempunyai ketinggian maksimum 70 m dari permukaan air laut. JSS telah diluncurkan dalam soft launching pada tahun 2007 dan akan dimulai pembangunannya pada tahun 2015 dan diperkirakan dapat mulai dioperasikan pada tahun 2025 (masa kontruksi 10 tahun).
BIG sebagai penyelenggara dan rujukan IG di Indonesia pada Rabu 31 Desember 2014 menyampaikan paparan mengenai Analisis Dampak Pembangunan Jembatan Selat Sunda pada Rapat Kementerian PPN/Bappenas via video teleconference di Geospatial Support Command Center (GSCC) BIG Cibinong. Rapat dari pihak BIG dipimpin oleh Kepala BIG, Priyadi Kardono, sementara dari pihak Bappenas oleh Menteri PPN/Bappenas, Andrinof Chaniago.
Pada pembukaan, Menteri PPN/Bappenas, Andrinof Chaniago menyampaikan bahwa uji coba teleconference antara Bappenas dengan BIG adalah untukmeningkatkan kualitas perencanaan dengan optimalkan sumberdaya yang ada. Tema rapat kali ini adalah untuk meng-exercise pengembangan model perencanaan proyek pembangunan nasional skala besar. Andrinof menyampaikan bahwa uji coba ini bisa ditinjau dari apa yang bisa dikembangkan dan ditajamkan. Pendekatan yang disumbangkan oleh BIG sangat berarti untuk perkiraan dampak perubahan alih fungsi lahan, termasuk proyeksi kependudukan, ekonomi dan yang lainnya. Dengan begitu, bisa dilihat positif dan negatifnya sehingga secara agregat cenderung kemana untuk membuat perencanaan secara berkelanjutan.
Sinergi BIG dan Bappenas ditambah dari BPS diharapkan banyak memberikan bahan analisis untuk membuat keputusan. Untuk model analisis, Andrinof menekankan untuk tema ini (pembangunan JSS), ditetapkan untuk ditunda sampai batas waktu yang belum ditentukan karena perlu kajian-kajian lebih lanjut sehingga bisa dioptimalkan sumberdaya di dalamnya, yang pada akhirnya nantinya pimpinan negara bisa mengeluarkan keputusan yang tepat.
Sementara itu, Kepala BIG Priyadi Kardono menyampaikan bahwa untuk tahun 2014 terkait Nawacita Nomor 3 Pemerintahan Presiden Jokowi - JK yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, BIG akan siapkan peta citra resolusi tinggi desa seluruh Indonesia. Priyadi Kardono menyampaikan bahwa pembuatan peta garis cukup lama dan membutuhkan biaya yang cukup banyak, namun melalui peta citra resolusi tinggi yang sudah dikoreksi bisa digunakan untuk Rencana Detil Tata Ruang (RDTR). Disampaikan pula bahwa yang menjadi masalah adalah BIG tidak bisa membeli citra resolusi tinggi karena kewenangan ada di LAPAN berdasarkan UU Keantariksaan. Sementara LAPAN pun tidak sanggup dengan dananya, adanya Citra SPOT 6 yang belum bisa untuk pemetaan desa. Cita-citanya nanti bisa menyelesaikan batas administrasi desa. Jika batas desa sudah siap maka batas antar kecamatan selesai, dan selanjutnya batas kabupaten hingga batas provinsi akan selesai dengan simultan.
Pada acara ini, disampaikan presentasi tentang "Kajian Dampak Pembangunan Jembatan Selat Sunda dengan Model Spasial Dinamis" oleh Kepala Bidang Pemetaan Dinamika Sumberdaya, Habib Subagio. Disampaikan bahwa model spasial dinamis dapat menjawab beberapa hal terkait rencana pembangunan JSS antara lain: (1) apa dan bagaimana dampak pembangunan JSS terhadap target dan sasaran pemerataan pembangunan nasionalsecara spasial; (2) berapa lama dampak pembangunan JSS dirasakan atau berpengaruh terhadap kinerja perkembangan wilayah, terutama aspek lingkungan dan dinamika pemanfaatan sumber daya alam; dan (3) dimana dampak pembangunan JSS terjadi atau berpengaruh.
Model dinamika spasial ini juga bisa digunakan untuk menganalisis dampak dari pembangunan sarana prasarana atau program-program pembangunan dalam skala besar dalam jangka menengah maupun jangka panjang. Kegiatan ini merupakan salah satu upaya BIG untuk meningkatkan pemanfaatan data IG yang telah dihasilkan berbagai pihak untuk mendukung perencanaan serta monitoring dan evaluasi pembangunan nasional. Bahwa hasil model spasial dinamis ini akan mendapatkan akurasi yang lebih baik dengan didukung oleh masukan data IG yang akurat pula, untuk itu tugas BIG kedepan menyiapkan dan mengawal ketersediaan data IG dalam segala aspek seperti peningkatan kerincian dari sisi skala pemetaan dan kerincian informasinya.Termasuk halnya dalam hal contoh analisis Dampak Selat Sunda yang dipresentasikan, bahwa masukan data spasial yang digunakan dalam pemodelan, saat ini masih menggunakan skala provinsi, tentunya kedepan untuk menghasilkan analisis yang lebih baik (akurat), perlu dikembangkan pada level kabupaten, sehingga analisisnya bisa lebih fokus (detil) pada wilayah-wilayah prioritas seperti kabupaten yang secara langsung berhubungan dengan infrastruktur yang akan dibangun.
Hasil kajian melalui pemanfaatan model spasial dinamis ini meliputi kajian multi sektor yang meliputi ekonomi, sosial, dan lingkungan baik untuk dampak makro (nasional) maupn mikro (Provinsi Banten dan Provinsi Lampung). Kesimpulan dari hasil kajian ini adalah bahwa pembagunan JSS akan memiliki dampak makro yang mengakibatkan semakin besar kesenjangan antara wilayah Jawa-Bali dengan wilayah lainnya khususnya wilayah bagian timur Indonesia. Hasil analisis mikro terkait dinamika perubahan lahan dan fokus pada konversi lahan pertanian juga menunjukkan bahwa pembangunan JSS memiliki implikasi pada percepakan konversi lahan sawah menjadi lahan terbangun yang mengakibatkan pada pengurangan produksi padi dan hilangnya mata pencaharian petani yang disajikan pada data numerik maupun spasial. (ATM/HS/TR)