Selasa, 26 November 2024   |   WIB
id | en
Selasa, 26 November 2024   |   WIB
Kajian Metode Akuisisi Data Hidrografi untuk Dukung Pemetaan LPI

Bogor, Berita Geospasial BIG - Lingkungan Pantai Indonesia perlu dipetakan dengan skala besar untuk berbagai keperluan.  Selama ini peta tersebut masih dalam skala menengah hingga kecil.  Untuk itu perlu dikaji berbagai metode akuisisi data hidrografi guna mendapatkan metode yang optimal sehingga proses survei dan pemetaannya menjadi lebih efisien dan efektif.

Indonesia merupakan negara maritim yang besar, sekitar70% wilayahnya merupakan wilayah perairan. Oleh karena itu penting bagi Indonesia untuk memiliki peta dasar laut yang akurat, teliti, dan dapat dipertanggung jawabkan. Peta dasar laut yang detil tersebut memiliki peran yang sangat penting dalam hal eksploitasi dasar laut, pengawasan lingkungan dasar laut dan  untuk kepentingan militer. Untuk menghasilkan peta dasar laut yang akurat dalam waktu singkat dibutuhkan suatu metode yang optimal pula.

Beberapa metode yang digunakan selama ini bisa dikatakan belum optimal. Sehingga dibutuhkan suatu kajian dan diskusi antara para ahli dan pakar di bidangnya untuk mendapatkan solusi metode yang efektif yang dapat digunakan. Diskusi tersebut diwujudkan melalui kegiatan Focus Group Discussion(FGD) yang diselenggarakan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) pada 11 November 2014 pukul 09.00-12.00. FGD yang berlangsung di Bogor tersebut telah dimulai sejak bulan Juni, dan pertemuan kali ini merupakan pertemuan yang ke-14. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian, Promosi, dan Kerja Sama (PPKS) serta Pusat Pemetaan Kelautan dan Lingkungan Pantai (PKLP) ini dibuka oleh Niendyawati selaku Kepala Bidang Penelitian BIG. Niendyawati mengungkapkan harapannya agar kegiatan FGD ini menghasilkan solusi terkait metode akuisisi data hidrografi yang optimal dan efektif untuk mendukung pemetaan Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) skala 1:10.000.

Hadir pada FGD tersebut adalah perwakilan dari Direktur Pelabuhan dan Pengerukan, Dirjen Perhubungan Laut; Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil KKP; Pusat Penelitian Oseanografi LIPI; UGM; ITB; BPPT; serta Geotindo. Untuk mengawali diskusi diberikan presentasi oleh Y.Dwi Sigit Purnomo, Kepala Bidang Pemetaan Lingkungan Pantai BIG. Sigit memaparkan pentingnya akuisisi data hidrografi untuk pemetaan LPI. Ia juga menjelaskan berbagai metode yang teknologi yang selama ini digunakan untuk pemetaan LPI skala 1:10.000. Misalnya metode awal yang menggunakan alat Multi Beam Echo Sounder (MBES), meskipun memiliki area cakupan yang lebih luas, namun biaya pelaksanaan surveinya cukup mahal dan operasional survei juga lebih kompleks.

Selain itu, ada pula metode dengan teknik Side Scan Sonar (SSS). Meskipun operasionalisasi surveinya lebih sederhana dan mudah, namun data yang dihasilkan merupakan titik kedalaman dan memerlukan waktu yang panjang untuk pelaksanaannya. Berikutnya digunakan pula alat Continuously Operating Reference Stations (CORS). Dengan ini biaya operasional yang dikeluarkan lebih rendah dan bisa meningkatkan produktivitas, akan tetapi tidak semua lokasi memiliki stasiun CORS dan hanya dapat digunakan pada area yang terjangkau sinyal GSM dan internet saja. Metode berikutnya adalah menggunakan Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Dengan metode ini akan diperoleh data garis pantai saat pasang maupun surut dengan cara pemotretan sampai 3 km, waktu yang digunakan juga lebih singkat dan murah. Sayangnya metode ini dipengaruhi oleh faktor angin dan ketelitiannya masih menjadi perdebatan. Berikutnya adalah metode tracking dengan menggunakan Global Positioning System (GPS), melalui metode ini dinilai data yang dihasilkan akan lebih teliti dan mudah dilaksanakan, namun, waktu yang digunakan relatif lama dan biaya survei juga mahal.

Dari hasil diskusi didapatkan kesimpulan bahwa untuk mendapatkan garis pantai yang teliti tergantung pada informasi pasang surut, sementara untuk efisiensi bergantung pada luasan daerah yang dipetakan. Sementara itu dalam penggunaan UAV memang bergantung pada kondisi cuaca, bila kondisi cuaca buruk UAV tidak dapat diterbangkan dengan baik pula. Untuk pemetaan LPI skala 1:10.000 metode UAV untuk topografi darat memang bisa dipakai, sementara untuk memetakan kedalaman laut harus menggunakan metode lain agar lebih akurat dan efektif. Sementara untuk mendapatkan hasil pengukuran kedalaman yang memenuhi order 1b sekaligus mendapatkan data seabed untuk memenuhi ketersediaan unsur tutupan lahan di laut tidak harus menggunakan metode SBES, karena bila volumenya besar menggunakan metode MBES akan lebih murah, namun cakupannya harus 100%.

Kemudian terkait nilai LAT berdasarkan data pengamatan pasut selama 3 bulan yang selama ini dilakukan dalam survei hidrografi perlu dikaji ulang, karena rekomendasiInternational Hydrographic Organization (IHO) seharusnya menggunakan data pengamatan 1 tahun. Selain itu dalam penentuan posisi horisontal untuk pengikatan posisi lokasi pemeruman (sounding) yang memenuhi ketentuan orde 1b, tidak harus selalu dipatok memakai CORS, karena penggunaan CORS harus memperhatikan hubungan telekomunikasi paket data dan kondisi lingkungan, akan tetapi pada kondisi tertentu CORS dapat diandalkan. Dengan mengingat berbagai kelebihan dan kekurangan metode yang akan digunakan, maka dalam pemilihan metode yang optimal sangat mendesak adanya.  Diharapkan FGD serupa dapat terus dilaksanakan ke depannya, sehingga para ahli dan pakar di bidang survei hidrografi dapat saling bertukar pikiran dan berbagi ilmu dan dapat menghasilkan kesimpulan seperti yang diharapkan. (LR/TR)