Rapat Koordinasi Nasional Informasi Geospasial (Rakornas IG) yang telah diselenggarakan mulai 2012, kini sudah 3 kali diselenggarakan. Berbagai kesepakatan telah diperoleh, dimana untuk tahun 2014 ini disepakati berbagai kesepakatan sebagai masukan untuk RPJMN 2015-2019. Untuk itu perlu diselenggarakan berbagai tindak lanjut implementasi hasil Rakornas tersebut kepada pemegang kebijakan teknis di daerah.
Tindak lanjut ini akan dilaksanakan di 3 region yaitu Barat, Tenggah dan Timur. Untuk pertama kali Tindak Lanjut Implementasi Rakornas IG diselenggarakan di Jakarta pada 23 September 2014 untuk Region Barat. Tindak lanjut ini dilaksanakan dalam bentuk diskusi panel berikut konsultasi teknis langsung pada klinik-klinik geospasial seperti Tata Ruang, Batas Wilayah, Penyelenggaraan IGD dengan Citra Satelit Resolusi Tinggi, Pelayanan Jasa dan Produk serta Diklat Geospasial.
Pertemuan yang dihadiri oleh Kementerian dan Lembaga serta perwakilan dari Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dibuka resmi oleh Sekretaris Utama BIG, Titiek Suparwati. Pada sambutannya Titiek mengatakan, kegiatan ini merupakan implementasi dari hasil kesepakatan Rakornas IG yang diselenggarakan di Jakarta sebelumnya. Butir kesepakatan Rakornas dalam penyelenggaraan IGD diantaranya: (1) Kebutuhan Informasi Geospasial Dasar untuk penataan ruang, batas wilayah dan kebencanaan sangat mendesak, sehingga harus menjadi prioritas nasional termasuk penganggarannya dalam RPJMN 2015-2019, (2) Citra Satelit Tegak Resolusi Tinggi (CSRT) dapat digunakan sebagai alternatif sementara dan aktualisasi peta dasar, dan (3) serta menyetujui rencana aksi penyelenggaraan IGD tahun 2015-2019.
Pada kegiatan pertemuan tersebut diisi dengan paparan dan diskusi antara lain dari Kepala Bidang Pemetaan Skala Besar BIG, Ade Komara Mulyana, dengan judul "Pemetaan Dasar Berbasis Citra Satelit Tegak Resolusi Tinggi". Pada paparannya Ade Komara mengatakan, K/L atau Pemerintah Daerah yang tidak dapat menunggu hasil kegiatan CSRT pada akhir tahun 2014, disarankan untuk: (1) bagi Pemerintah Daerah yang mampu agar dapat mengalokasikan anggaran untuk kegiatan akuisisi data dasar dengan pemotretan udara maupun Lidar, untuk menghasilkan peta dasar yang lengkap dengan semua unsurnya, (2) Kepada Pemerintah Daerah yang belum mampu mengalokasikan untuk kegiatan akuisisi data dasar, untuk melakukan penyediaan peta dasar dari hasil dijitasi citra satelit tegak resolusi tinggi. Proses orthorektifikasi yang dilakukan harus mengacu pada SOP yang sudah ditetapkan BIG, dan (3) Kegiatan penyelenggaraan data dan informasi geospasial dasar yang dilakukan oleh pihak selain BIG harus dikoordinasikan dengan BIG.
Selanjutnya Ade Komara, mengatakan, CSRT dari citra SPOT 6 dapat digunakan sebagai solusi alternatif untuk memenuhi kebutuhan akan peta dasar skala besar untuk penyusunan RDTR. Akurasi citra yang dibutuhkan dapat terpenuhi dengan menggunakan data masukan sesuai spesifikasi yang telah ditentukan yaitu level koreksi citra yang sesuai, dengan DEM dan GCP yang cukup. Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah diharapkan dapat menyampaikan kebutuhan akan data CSRT dalam Rapat Koordinasi CSRT yang diadakan pada triwulan akhir tahun anggaran, sehingga baik BIG maupun LAPAN dapat menyusun perencanaan akuisisi dan orthorektifikasi citra tegak sesuai prioritas dan kebutuhan pengguna.
Paparan lainnya mengenai Pemetaan Tata Ruang, dengan judul "Pemanfaatan IG dalam Pemetaan Tata Ruang", disampaikan oleh Guridno Bintar Saputro, Kepala Bidang Pemetaan Tata Ruang BIG. Pada paparannya Bintar mengatakan, produk hukum tata ruang mengatur pada aspek ruang atau wilayah, sehingga tidak dapat dilepaskan dari aspek peta atau IG. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan bagian tidak terpisahkan dari dokumen rencana tata ruang, sehingga lampiran peta tata ruang memiliki kekuatan hukum, dalam penyusunannya harus dibuat dengan proses yang benar. Selain itu adanya ketentuan sanksi pidana pada UU Penataan Ruang dimana salah satu alat deteksinya menggunakan peta, sehingga IG yang akurat dibutuhkan untuk monitoring rencana tata ruang. Untuk itu diperlukan adanya peta tata ruang yang terstandar pada semua jenjang agar dapat terintegrasi secara nasional. IG berpengaruh terhadap kualitas rencana tata ruang, IG yang berkualitas dapat menghasilkan produk tata ruang yang berkualitas pula.
Sementara itu, pada paparan tentang Pemetaan Batas Wilayah, Kepala Bidang Pemetaan Batas Wilayah Administrasi BIG, Lulus Hidayatno mengatakan, UU No. 4/2011 tentang Informasi Geospasial mengikat semua pihak untuk melakukan pemetaan dengan referensi dan standar yang sama. BIG harus berperan aktif dalam proses alokasi, delimitasi, delineasi dan demarkasi dalam penegasan batas daerah. Data Geospasial di wilayah perbatasan perlu didokumentasikan karena berkaitan dengan aspek legal dan sejarah. Selanjutnya Lulus menjelaskan bahwa Permendagri No.76/2012 menggantikan Permendagri No.1/2006 memberikan alternatif metode penegasan batas daerah. Pembuatan peta wilayah desa juga sangat dibutuhkan terkait dengan UU No. 6/2014 tentang Desa yang menyatakan bahwa Alokasi Dana Desa (ADD) yang dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis. Selain itu Lulus juga mengatakan bahwa dalam penegasan batas daerah mutlak diperlukan informasi geospasial antara lain: Peta Rupabumi dengan skala yang memadai, Peta Citra Tegak Resolusi Tinggi, DEM dengan resolusi yang memadai serta data/peta pendukung lainnya.
Paparan lainnya mengenai Jaringan Informasi Geospasial Nasional dari Pusat Standarisasi Kelembagaan Informasi Geospasial BIG dan Berbagi Pakai IG dari Pusat Pengelolaan dan Penyebarluasan IG BIG. Kegiatan ini diisi pula dengan Pameran IG dan Klinik Informasi Geospasial dengan tema Tata Ruang, Batas Wilayah, Penyelenggaraan IGD dengan Citra Satelit Resolusi Tinggi, Pelayanan Jasa dan Produk serta Diklat Geospasial . (YI/TR).