Pemekaran wilayah atau pembentukan daerah otonom baru harus dilakukan berdasarkan kaidah pemetaan/kartografi yang benar. Banyaknya konflik penggunaan lahan salah satunya diakibatkan oleh ketidakjelasan dan ketidaktegasan batas wilayah.
Pemekaran wilayah harus dilakukan secara bertanggung jawab dengan berdasarkan pada kaidah pemetaan/kartografi yang benar. "Hal itu dilakukan agar mendapatkan batas wilayah yang akurat guna mencegah konflik," demikian dikatakan Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP), Kuntoro Mangkusubroto pada Rapat Pembekalan Nasional Tata Kelola Pemerintahan untuk Peningkatkan Kinerja Lingkup Tata Kelola Keuangan, Tata Kelola Hutan dan Lahan di Jakarta, 15 September 2014. Rapat yang akan berlangsung hingga esok hari tersebut menghadirkanpara Kepala Daerah Seluruh Provinsi/Kabupaten/Kota di Indonesia serta Jajaran Eselon I Kementerian dan Lembaga terkait.
Sejak tahun 1999 sampai dengan 2013 di Indonesia telah terbentuk 8 Provinsi, 175 Kabupaten, dan 34 Kota yang baru, sebagai hasil dari Pemekaran Wilayah atau Daerah Otonom Baru. Akan tetapi, peta lampiran pada dokumen wilayah baru tersebut banyak yang belum memenuhi kaidah kartografi atau pemetaan yang benar. Seharusnya Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota merujuk pada peta dasar yang benar. Otoritas penyelenggaraan Informasi Geospasial Dasar (IGD) ada pada Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagaimana tertulis dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang IG. BIG merupakan Lembaga Pemerintahan Non Kementerian (LPNK) yang menyelenggarakan IGD yang nantinya digunakan sebagai rujukan untuk pembuatan IG Tematik (IGT). Untuk itu diperlukan kebijakan satu peta atau one map policy sebagai rujukan penyelenggaraan peta-peta tematik.
Kegiatan yang diselenggarakan oleh UK-PPP dan BP REDD dengan dukungan BIG dan Kemendagri tersebut dibuka resmi oleh Wakil Presiden RI, Boediono. Pada sambutannya Boediono mengatakan bahwa masalah penyerapan anggaran tidak hanya meliputi persoalan teknis, tapi juga ada masalah sosial dan politik. Dimana hal itu menyebabkan munculnya ketidakcocokan antara yang disampaikan diatas kertas dan apa yang terealisasi di lapangan. "Diperlukan inisiatif konkrit yang yang dapat diterapkan dilapangan, seperti inisiatif usulan mekanisme Pengakuan dan Pembuktian Hak (PPH) pada masalah batas lahan," terang Boediono pada acara rapat tersebut.
Sampai saat ini dari total 966 segmen batas wilayah, sebanyak 237 segmen sudah ditetapkan dalam Peraturan Menteri, 236 segmen telah diukur, 90 dalam proses, 82 tidak sepakat, sisanya belum disentuh. Pada penyelesaian tata batas dan penetapan kawasan hutan, lebih dari 31 % yang belum ditetapkan mengandung materi terkait Hak-Hak Pihak Ketiga. Percepatan penetapan batas wilayah administratif memang harus segera dilakukan agar kendala pembangunan dapat diatasi. "Selain itu, Sistem Informasi Perijinan (SIP) yang ada pada Kementerian dan Lembaga (K/L) berjalan secara Independen, sehingga menimbulkan redudansi proses dan kebijakan,yang pada akhirnya akan mengurangi peluang pendapatan," pungkas Kuntoro lebih lanjut. Pembicara kunci lain yang turut hadir pada hari itu adalah dariKPK, UKP-PPP, BIG dan Kementerian Keuangan serta K/L terkait lainnya. (YI/TR).