Informasi Geospasial Dasar (IGD) merupakan informasi geospasial yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan Informasi Geospasial Tematik (IGT). Salah satu IGD yang sangat penting adalah Sistem Referensi Geospasial Indonesia (SRGI) yang telah diluncurkan Tahun 2013. Untuk itu diperlukan berbagai kegiatan pemasyarakatannya baik melalui berbagai seminar, workshop maupun pertemuan organisasi profesi.
Sistem Referensi Geospasial Indonesia (SRGI) Tahun 2013 merupakan jaring kontrol geodesi yang menjadi acuan dalam penentuan posisi suatu obyek dalam sistem kinersial dan terestrial, dan penentuan medan gaya berat. Penetapan SRGI 2013 dilakukan dengan kajian akademis yang melibatkan para akademisi dari beberapa perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Hal tersebut dikemukakan oleh Sekretaris Utama Badan Informasi Geospasial (BIG), Budhy Andhono Soenhadi saat menjadi pembicara kunci dalam Seminar “Sistem Referensi Geospasial Indonesia (SRGI) Tahun 2013”, di Institut Teknologi Padang, Sumatera Barat, 19 Mei 2014.
Hal tersebut tersebut berhubungan dengan peluncuran Informasi Geospasial Dasar (IGD) ”Milik Publik”, pada 21 April 2014, di akhir masa peralihan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, menjadikan semua layer dalam IGD adalah milik publik, kecuali layer hipsografi yaitu garis kontur dan batimetri, pada skala 1:10.000, 1:5.000, 1:2.500, dan 1:1.000.
“IGD Milik Publik” merupakan penerapan Kebijakan Satu Peta yang meliputi Satu Referensi, Satu Standard, Satu Geodatabase dan Satu Geoportal. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjamin informasi geospasial yang dihasilkan setiap lembaga andal, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, serta dapat berbagai pakai untuk diintegrasikan satu sama lain dengan tepat, tegas Budhy Andhono.
Sementara Kepala Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim BIG, Edwin Hendrayana menambahkan, Kebijakan Satu Peta sangat penting untuk menghindari tumpang tindih tata kelola lahan. Beberapa kasus kerusakan lingkungan, dan penggunaan lahan yang melanggar tata ruang disebabkan oleh perbedaan referensi saat melakukan pemetaan wilayah. Peta rupabumi skala besar sangat diperlukan untuk membuat Rencana Detil Tata Ruang, yang menjadi kewajiban pada tiap pemerintah daerah otonom. Saat ini, kebutuhan Peta RBI skala besar dan menengah sesuai amanat UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial masih sangat besar. Hal ini merupakan potensi besar bagi SDM IG untuk bekerja di dalamnya. Perlu menjadi perhatian khusus adalah rencana pelaksanaan AFTA di Tahun 2015, dimana akan terjadi pertukaran SDM secara bebas antar Negara di kawasan ASEAN yang tentunya menjadi tantangan bagi tiap SDM IG untuk meningkatkan kapasitas di bidang IG, tandas Edwin.
Ina-Geoportal dengan alamat website http://tanahair.indonesia.go.id, telah dikembangkan oleh BIG untuk mengintegrasikan Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN). Pada demo aplikasi Ina-Geoportal yang dibawakan oleh Kepala Pusat Pengelolaan dan Penyebarluasan Informasi Geospasial BIG, Antonius Bambang Wijanarto, penerapan satu referensi akan terlihat jelas dimana data dengan sistem referensi yang sama akan dapat tepat dan sesuai saat dilakukan overlay satu dengan lainnya. Tugas dan fungsi terkait pemetaan dari berbagai lembaga yang telah terhubung dalam JIGN juga akan terlihat jelas, sehingga tidak ada lagi overlap atau duplikasi data dan informasi geospasial, tambah Anton. (SB-ADP/TR).