Sejauh ini, inventarisasi dan pemetaan lahan gambut di Indonesia telah dilakukan oleh berbagai institusi nasional maupun lokal, bahkan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Namun demikian, peta-peta tersebut tidak terintegrasi dan tidak digunakan secara bersama antar institusi. Oleh karenanya, koordinasi dan sinergi yang sistematis antar institusi penghasil informasi geospasial ini sangat penting dilakukan. Usaha ini didukung dengan kebijakan satu peta (one map policy) yang dicanangkan pemerintah dengan merujuk pada implementasi referensi tunggal geospasial, standar pemetaan, basis data dan Ina-Geoportal.
Sebagaimana diketahui, lahan gambut dipercaya memiliki kontribusi signifikan dalam emisi gas rumah kaca (greenhouse gas emission). Sebagaimana disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada pidatonya di hadapan para pemimpin G20 pada 2009 di Pittsburg, USA, pemerintah Indonesia berkomitmen akan menurunkan emisi karbon sebanyak 26 % hingga tahun 2020 dari tingkat "business as usual" yang diusahakan selama ini. Dari usaha ini, diprediksikan 80 % dari emisi karbon berasal dari lahan gambut. Untuk mencapai penurunan emisi karbon sebesar 26 % tersebut, pemerintah Indonesia telah membuat berbagai peraturan, diantaranya Inpres No 10/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut dan No 6/2013 tentang Inisiasi Kebijakan Penurunan Emisi Karbon (REDD+).
Badan Informasi Geospasial (BIG) bersama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian (Balitbangtan) dan Food and Agriculture Organization, United Nations (FAO-UN) menggelar workshop internasional bertajuk "Informasi Geospasial Tematik Lahan Gambut Tropis untuk Pertanian" dengan tema "Kebijakan One Map untuk Mendukung Pembangunan Lahan Gambut Tropis yang Berkelanjutan" di IPB International Convention Centre, Bogor pada 7 - 8 November 2013. Workshop ini dihadiri oleh sejumlah praktisi dan akademisi dari sejumlah kementerian/lembaga (K/L) terkait , perguruan tinggi dan juga para profesional dari dalam dan luar negeri.
Kepala BIG Asep Karsidi dalam sambutannya mengatakan bahwa kebijakan "one map" sangat besar pengaruhnya untuk mendukung pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan. Diharapkan semua K/L dapat menggunakan satu peta yang sama, sehingga kelak hanya ada satu peta lahan gambut yang disetujui dan digunakan bersama.
Sementara itu, Kepala Pusat Pemetaan & Integrasi Tematik BIG, Nurwadjedi dalam sambutannya memaparkan bahwa workshop ini terselenggara sebagai sarana untuk; (1) berbagi pengalaman dalam pemetaan lahan gambut guna memformulasikan pendekatan yang komprehensif untuk menghasilkan "Satu Peta" (One Map) lahan gambut; (2) pertukaran informasi dan teknologi pengelolaaan lahan gambut untuk pertanian, dan (3) untuk meningkatkan kepedulian akan pentingnya pemutakhiran hasil inventarisasi dan pemetaan lahan gambut tropis secara nasional, dan membakukan metode yang digunakan untuk mengkaji lahan gambut tropis.
Workshop ini dilatarbelakangi kenyataan bahwa Indonesia memiliki lahan gambut seluas 20 juta ha, yang merupakan lahan gambut terluas ke-4 di dunia setelah Canada (170 juta ha), Uni Soviet (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha). Namun demikian, data luas lahan gambut tropis ini dilaporkan bervariasi antara 13,5 - 26,5 juta ha (rata-rata 20 juta ha). Lahan gambut di Indonesia tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Sebagian besar dari lahan gambut di Indonesia telah digunakan untuk berbagai penggunaan, termasuk untuk pertanian yang merupakan kunci stabilisas ketahanan pangan Indonesia.
Pembicara pada workshop ini adalah para pakar dari dalam dan luar negeri. Dari dalam negeri hadir perwakilan dari K/L, Pemerintah Provinsi dan Perguruan Tinggi. Delegasi luar negeri yang hadir dalam workshop ini berasal dari negara Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Papua New Guinea. Lembaga-lembaga internasional yang hadir antara lain FAO, ASEAN, ADB, JICA, ICCC Indonesia, CIFOR, IPCC, UNESCAP, Wetlands International Indonesia, Greenpeace Indonesia, Conservation International Indonesia, dan WWF Indonesia.
Oleh: Agung TM