Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengamanatkan bahwa dalam penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan melalui perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. Tahapan yang dilakukan dalam Perencanaan Perlindungan Lingkungan Hidup tersebut terdiri dari tahapan Inventarisasi Lingkungan Hidup, Penetapan Wilayah Ekoregion dan Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) dan selanjutnya diartikan sebagai perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
Untuk itu, KLH menyelenggarakan Peluncuran Peta dan Deskripsi Ekoregion serta Talkshow Penerapan Ekoregion dalam Perencanaan Pembangunan pada tanggal 4 Juni 2013 di Hotel Bidakara, Jakarta. Acara ini dibuka secara resmi oleh Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA.
Dalam acara tersebut, Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG), Dr. Asep Karsidi mengatakan bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional berkelanjutan sangat diperlukan ketersediaan informasi berbasis keruangan, seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU-PPLH) dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (UU-PR) serta Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (UU-IG).
Badan Informasi Geospasial (BIG) mendapatkan mandat dalam Penyelenggaraan Informasi Geospasial Dasar (IGD), Pembinaan Informasi Geospasial Tematik, dan Penyelenggaraan Infrastruktur Informasi Geospasial. Peluncuran Peta dan Deskripsi Ekoregion Skala 1:500.000 merupakan wujud konkrit adanya koordinasi dan sinergitas antara Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan BIG serta Kementerian/Lembaga (K/L) terkait lainnya. Pentingnya koordinasi dan sinergitas antara Kementerian atau Lembaga terkait dalam penyelenggaraan IGT adalah untuk menghindari duplikasi kegiatan, penerapan standar pemetaan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai prinsip One Map Policy, serta untuk mengefektifkan dan mengefisienkan pelaksanaan survei dan pemetaan di Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup menetapkan ekoregion bekerjasama dengan Badan Informasi Geospasial (BIG) dan didukung oleh instansi pemerintah terkait, pakar dari perguruan tinggi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Pembahasan ekoregion Indonesia oleh berbagai sektor terkait dan para pakar telah menyepakati bahwa ekoregion Indonesia terdiri dari Ekoregion Sumatera, Ekoregion Jawa, Ekoregion Kalimantan, Ekoregion Sulawesi, Ekoregion Papua, Ekoregion Maluku dan Ekoregion Bali Nusa Tenggara, yang merupakan kesatuan wilayah daratan dan lautan yang mengelilinginya. Untuk penetapan pertimbangan ekoregion menurut pasal 7 UU Nomor 32 tahun 2009 terdapat 8 (delapan) pertimbangan, yaitu (a) karakteristik bentang alam; (b) daerah aliran sungai; (c) iklim; (d) flora dan fauna; (e) ekonomi; (f) kelembagaan masyarakat; (g) sosial budaya, dan (h) hasil inventarisasi lingkungan hidup.
Dengan menggunakan pendekatan ekoregion, dimungkinkan untuk mengintegrasikan berbagai ekosistem yang kini cenderung dikelola secara terpisah, termasuk menyatukan dan mengintegrasikan antara perencanaan berbasis darat dan laut. Kehidupan masyarakat senantiasa berkait erat dengan tatanan alami suatu ekoregion, maka kehidupan ekonomi masyarakat perlu didasarkan pada batasan-batasan daya dukung alam yang ada di wilayahnya. Pendekatan ekoregion akan memberi ruang bagi tumbuhnya hukum lokal yang sesuai dengan karakteristik daerah, menyediakan proses-proses komunikasi di dalam masyarakat (lokal) untuk mendorong terselesaikannya masalah open access sumberdaya alam melalui kepastian hak atas sumberdaya alam.
Oleh: Agung TM