Perluasan wilayah Legal Continental Shelf (LCS) diluar batas 200 nautical miles (nm) telah diatur dalam Artikel 76 dan Artikel 82 dari UNCLOS. Pada Artikel 82, perluasan CLS dapat diusulkan dengan mempertimbangkan ketebalan sedimen di wilayah yang diusulkan dengan menggunakan formula Gardiner. Dalam penerapannya, Indonesia berhasil mendapatkan pengakuan dari UNCLOS atas klaim penambahan batas wilayah diluar ZEE 200 nm dan kurang dari 350 nm di wilayah perairan Samudera India, Barat Aceh . Klaim ini didukung secara ilmiah dengan menggunakan data seismik refleksi kanal ganda dengan kualitas yang mencukupi. Secara nasional, pengajuan klaim ini dikoordinasikan oleh Kementrian Luar Negeri dengan melibatkan Badan Koordinasi dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), sekarang Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), Dinas Hidro-oseanografi - TNI AL dan Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Pusat Pengkajian dan Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL) - Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM).
Hasil studi sementara berdasarkan data geologi, seismik, graviti dan batimetri, menunjukkan bahwa terdapat 3 (tiga) lokasi dimana Indonesia memiliki prospek untuk melaksanakan submisi landas kontinen di luar 200 mil yaitu, di sebelah barat Aceh, selatan P. Sumba dan utara Papua. Dari ke tiga lokasi yang diduga memiliki prospek ini selain wilayah Sebelah Barat Perairan Aceh telah dilaksanakan pada Tahun Anggaran 2008 sedangkan untuk Tahun Anggaran 2013, difokuskan pada wilayah utara Papua, yang merupakan prioritas utama agar segera ditindaklanjuti dengan pelaksanaan survei seismik untuk memastikan ketebalan sedimen di lokasi yang dimaksud.
Dalam pada itu, Artikel 76 juga membuka peluang untuk melakukan klaim berdasarkan struktur tinggian di dasar laut. Tinggian yang dimaksud dalam Artikel 76 dapat diartikan sebagai suatu tinggian yang memanjang dengan topografi yang relatif tidak beraturan atau halus dengan lereng yang tajam (IHO, 1993). Lebih jauh, dalam Paragraph 6 Artikel 76 dijelaskan bahwa tinggian bawah laut yang dimaksud adalah tinggian yang serupa dengan Tinggian Tengah Samudera (Mid-Ocean Ridges) dimana tinggian tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian pelamparan samudera aktif yang memanjang hingga sekira 60.000 km. Berdasarkan Artikel 76 ini, di wilayah sekitar wilayah ZEE Indonesia dapat diamati adanya penampakan batimeti yang diketahui sebagai manifestasi dari suatu tinggian hasil pelamparan samudera namun diduga tidak aktif. Salah satu aspek praktis yang dapat digunakan untuk melakukan klaim berdasarkan Pasal 6 Artikel 76 ini adalah dengan menggunakan titik tertinggi dari Tinggian sebagai titik pangkal sebagai pengganti Foot of Slope (FOS) sebagai representasi dari perubahan yang tercuram dari lereng itu sendiri. Dari titik pangkal tersebut kemudian ditarik lingkaran dengan jari-jari sejarak 200 nm dan 350 nm. Apabila dalam koridor tersebut terdapat tinggian berupa gunung atau bukit bawah laut yang merepresentasikan bagian dari Tinggian, maka tinggian tersebut menjadi titik pangkal baru untuk membangun lingkaran dengan jari-jari sejarak 60 nm. Dari irisan lingkaran-lingkaran itulah dapat dikonstruksi koridor yang mungkin diklaim sebagai perpanjangan dari LCS 200 nm. Metoda ini berlaku untuk wilayah yang merupakan bagian dari pulau di samudera (Ocean Island).
Berdasarkan beberapa hal di atas, Pemerintah dalam hal ini dikoordinasikan oleh Kementrian Luar Negeri dengan melibatkan Badan Koordinasi dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), sekarang Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), Dinas Hidro-oseanografi - TNI AL dan Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Pusat Pengkajian dan Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL) - Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), sebagai penyelenggara kegiatan, melakukan kegiatan "Pemetaan Landas Kontinen Indonesia Di Perairan Utara Papua Dengan Kapal Geomarin III ", 29 Maret - 22 April 2013.
Kegiatan pemetaan ini dilakukan dalam kerangka penyediaan data dasar dan kajian untuk kemungkinan penerapan Paragraf 6 Artikel 76 UNCLOS guna melakukan klaim perluasan batas wilayah diantara 200 nm hingga 350 nm di Tinggian Eauripik. Wilayah Tinggian Eauripik dipilih karena dalam kajian awal yang dilakukan oleh Badan Informasi Geospasial menunjukkan adanya peluang Indonesia untuk melakukan klaim perluasan batas wilayah dengan menggunakan klausul tinggian samudera. Selanjutnya, perkembangan terkini menunjukkan bahwa negara tetangga Federasi Kepulauan Mikronesia dan Papua New Guinea telah dengan sendiri-sendiri mengajukan klaim perluasan batas wilayah kepada UNCLOS, meskipun pada awalnya telah diwacanakan untuk melakukan submisi bersama.
Sesuai dengan lingkup kegiatan pemetaan ini yang meliputi berbagai sektor, maka kerjasama antar instansi dan lembaga negara yang terkait sangat perlu dilakukan. Dalam kegiatan perencanaan, persiapan dan pelaksaan pemetaan ini Puslitbang Geologi Kelautan secara aktif melibatkan tenaga ahli dari instansi terkait seperti Kementrian Luar Negeri, Badan Informasi Geospasial, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Dinas Hidro-oseanografi TNI AL. Laporan kemajuan ini merupakan hasil sinergitas antar lembaga tersebut dalam melaksanakan pemetaan kelautan sebagai bagian dari upaya melakukan klaim di luar batas ZEE 200 nm.
Pelepasan Tim Survei Landas Kontinen oleh Kepala P3GL- ESDM, DR. Ir. Susilo Hadi, Yang dihadiri oleh Plt. Kepala Pusat Batas Wilayah - BIG, DR. Ing. Khafid, Drs. Win Islamudin Bale mewakili Kepala Pusat Pemetaan Kelautan dan Lingkungan Pantai - BIG, dan DR. Ir. Sobar Sutisna (BIG).
Tim Survei Survei Landas Kontinen, yang dipimpin oleh Ir. Catur Purwanto, MT. (P3GL - ESDM), dari BIG diwakili oleh Bisma Jaja Zakaria (Pusat PKLP) dan Ronald Davied M (Pusat Batas Wilayah)
Oleh: Bisma Jaja Zakaria