Sejumlah daerah di Indonesia banyak terjadi tumpang tindih kepemilikan dan penguasaan lahan, yang berpotensi memicu konflik sosial. Hal ini disebabkan karena sejumlah instansi memiliki peta berdasarkan sektoral dan kepentingan masing – masing, sehingga dapat menimbulkan masalah antara pemerintah dengan pengusaha, pemerintah dengan masyarakat, pengusaha dengan masyarakat, bahkan antar sesama instansi pemerintah.
Pada kesempatan ini Sekretaris Negara mengadakan acara Diskusi Coffee Morning dengan tema “Potensi Konflik Penguasaan Lahan” bertempat di Aula Gedung 3, Lantai I Sekretariat Negara, Senin (29/4) pagi. Acara ini dibuka oleh Sekretaris Kabinet Dipo Alam itu dihadiri antara lain oleh Jaksa Agung Basrief Arief, Menteri Pertanian Suswono, Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo, Dirjen Pemerintahan Umum Kemendagri I Made Suwandi, Gubernur Kaltim Awang Faroek, Gubernur Sulbar Anwar Adnan Saleh, dan sejumlah Bupati yang di daerahnya sering mengalami konflik sengketa lahan.
Kali ini Kepala BIG Asep Karsidi hadir sebagai narasumber. Pada presentasinya kali ini Asep Karsidi menyebutkan, setidaknya ada empat Undang-Undang yang memuat dasar Informasi Geospasial Tematik (IGT) yang menjadi dasar penguasaan lahan oleh sejumlah instansi, yaitu Kementerian Kehutaan dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Kementerian ESDM dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, Pemerintah Daerah dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, lalu juga ada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Kebijakan Satu Peta atau “One Map Policy” terlahir karena IGT yang dibangun tidak merujuk pada satu sumber rujukan Peta Dasar (Peta Rupabumi) Selama IGT tidak merujuk pada Peta Dasar yang dibangun oleh instansi yang berkompeten dan berkewenangan (BIG) maka IGT yang dibangun tersebut akan menimbulkan kesimpangsiuran, ungkap Kepala BIG Asep Karsidi. Ia menyebutkan, peta perizinan pemanfaatan lahan dari instansi-instansi terkait masih ada yang belum mengikuti standar yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundangan, baik klasifikasi obyek geografis, skala maupun georeferensi-nya.
Sementara dari aspek non-teknis, akses atau sharing data geospasial tematik untuk pengurusan perizinan sektoral dari instansi-instansi terkait masih sulit. Sehingga, penetapan perizinan lahan/kawasan oleh salah satu instansi seringkali tidak didukung oleh informasi perizinan lahan/kawasan dari instansi lain.
Asep mengingatkan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011, BIG adalah penyelenggara Informasi Geospasial Dasar yaitu Jaring Kontrol Geodesi dan Peta Dasar yang menjadi acuan untuk menjamin keterpaduan informasi nasional. Atas dasar amanat UU itu, menurut Asep, BIG mengintegrasikan berbagai peta yang dimiliki sejumlah instansi pemerintah ke dalam satu peta dasar (One Map), yang dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif alat bantu pemecahan masalah konflik sosial akibat tumpang tindihnya data dasar kepemilikan atau penguasaan lahan.
Menurut Kepala BIG itu, saat ini telah diselesaikan Peta Dasar skala kecil yaitu skala 1:250.000 untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedangkan untuk skala besar yaitu skala 1:25.000 baru diselesaikan wilayah Sulawesi Selatan. “Saat ini sedang dikerjakan untuk wilayah Sumatera, Kalimantan Tengah, Sulut, Sulteng, Sulbar, Sultra, Gorontalo, dan Papua. Adapun Pulau Jawa sudah terpetakan lebih dahulu pada skala 1:25.000 meskipun masih perlu diupdate,” kata Asep Karsidi sembari menyampaikan, kemungkinan peta dengan skala 1:25.000 itu baru bisa dituntaskan pada tahun 2015 mendatang.
Diakui Kepala BIG, secara operasional peta dengan skala 1:250.000 belum memadai untuk menggambarkan objek di lapangan pada tingkat kabupaten/kota, sehingga kemungkinan terjadinya deviasi di lapangan akan sangat besar. “Untuk tujuan operasional di tingkat kabupaten/kota, IHT kawasan hutan harus dibangun pada skala yang lebih besar (minimal skala 1 : 50.000),” tuturnya.