Pengelolaan wilayah dengan pendekatan holistik melalui analisis komprehensif atas faktor Abiotik, Biotik dan Culture (ABC) merupakan suatu keniscayaan mengingat pembangunan selama ini yang berlangsung dengan mengedepankan pemangunan aspek fisik dan ekonomi semata, terbukti telah banyak menuai permasalahan dan bencana, salah satunya banjir Jakarta yang fenomenal. Di tengah keprihatinan akan terjadinya degradasi lingkungan dan bencana inilah, Badan Informasi Geospasial (BIG) melalui Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik (PPIT) menggelar Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) 2013 dengan tema “Selamatkan Jakarta dari Banjir dan Menjamin Ketersediaan Air Baku” dengan menggandeng kelompok masyarakat Sangga Buana, Karang Tengah, Jakarta Selatan. Dalam pelaksanaan EGI 2013 ini, BIG didukung oleh Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), Dinas Topografi Angkatan Darat, dan Komando Pasukan Khusus TNI AD (Koppasus).
EGI merupakan agenda rutin setiap tahun , yang kini telah memasuki tahun ke-9. Acara pelepasan EGI 2013 oleh Kepala BIG, Asep Karsidi telah dilaksanakan pada pada 6 April 2013 bertempat di Kawasan Hutan Kota Sangga Buana. Hadir dalam acara pelepasan tersebut adalah Bang "Idin" sapaan akrab H. Chaerudin, seorang praktisi lingkungan, juga tuan rumah dari Sangga Buana, Anggota Watimpres, Prof. Meutia Hatta, Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik (IGT) BIG, Priyadi Kardono dan sejumlah pejabat BIG lainnya, juga Kepala Dinas Tata Ruang PemProv DKI dan jajarannya, serta para tim yang akan melaksanakan EGI. Untuk selanjutnya Tim EGI 2013, akan melakukan survei dan pemahanan terhadap alam selama 9 hari mendatang.
Tim EGI merupakan gabungan dari para peneliti dari instansi pemerintah, perguruan tinggi, militer dan swasta yaitu BIG, BNPB, LIPI, UI, UGM, ITB, Unisma, Waindo, dan Koppasus dan Ditopad TNI AD bersama dengan kelompok masyarakat Sangga Buana. Dalam sambutannya Kepala BIG berpesan bahwa sekarang ini sudah saatnya kita melakukan pengelolaan wilayah secara holistik melalui sintesis aspek-aspek biotik, abiotik dan budaya (culture) (ABC) secara spasial. Setiap aspek ABC dari kawasan hulu, tengah dan hilir harus dipelajari secara mendalam untuk memformulasikan kebijakan pengelolaan. Sementara itu, Ibu Meutia Hatta dalam sambutannya menekankan bahwa pembangunan yang kita lakukan hendaknya dilakukan untuk mengangkat peradaban dan budaya bangsa sendiri, memadukan kearifan lokal dalam pelaksanaan pembangunan.
Sementara itu, tokoh masyarakat Sangga Buana Haji Chaerudin atau Bang Idin menyampaikan bahwa dalam menjalankan pembangunan hendaknya mendasarkan pada jati diri dan hati, dengan mentalitas seorang Jawara. Jawara mempunyai arti lempeng, lurus, ikhlas dan tawadhu, menghargai setiap perbedaan, punya sikap dan kebersamaan serta menjadikan musuh menjadi sahabat. Dengan prinsip tersebut, Bang Idin terbukti telah dapat menjaga bagian wilayah Jakarta seluas 120 hektar lahan di sekitar Kali Pesangrahan, sehingga 'ijo-royo-royo' bak “oase” di tengah-tengah “gurun” beton dan aspal Kota Metropolitan Jakarta. Bang Idin melakukan konservasi ini dengan mendasarkan pada peradaban, kearifan yang telah diturunkan dari para pendahulu - nenek moyang kita, namun sayangnya telah banyak dilupakan dan diabaikan sekarang ini. Bang Idin juga mengatakan bahwa konservasi hendaknya juga menjamin kehidupan manusia, bukan hanya air sungai yang bening dan tanaman yang 'ijo royo-royo' saja, namun masyarakat sekitar dapat merasakan manfaat di dalamnya. Untuk itulah, sudah saatnya kita kembali menggali dan memadukan kearifan dan budaya bangsa sendiri untuk mengelola wilayah agar dapat hidup selaras dengan alam, dan terhindar dari “kemarahan” alam.
Dalam acara ini Tim EGI juga mendapatkan pencerahan mengenai biopori ala Bang Idin, yang multifungsi yaitu sebagai pengendali banjir, menjernihkan air, sekaligus menjamin ketersediaan air tanah. Air dari got di jalan raya ditampung dan dialirkan dalam petak-petak yang mengalir dari datu petak ke petak lainnya sejumlah 13 petak, dan akhirnya baru dialirkan ke Kali Pesanggrahan. Dengan cara ini , air got yang keruh dan terpolusi bisa digunakan untuk memelihara ikan, tidak menimbulkan banjir dan air bersih mengalir ke kali. Sumber air tanah juga terjaga dengan banyaknya resapan air karena petak-petak dibuat alami dengan memakai bambu sebagai penahan.
Pemilihan tanaman untuk konservasi juga sangat diperhatikan. Setiap tanaman mempunyai karakteristik. Bambu ternyata merupakan tanaman yang baik untuk menahan air. Pohon beringin sebagai penguat, ditanam pada setiap 500 meter. Setidaknya ada 40 jenis tanaman di hutan Sangga Buana, beberapa diantaranya termasuk tanaman langka seperti pohon buah kecapi. Setelah pengamatan biopori, dilanjutkan dengan susur sungai, melakukan pengamatan kondisi sekitar sungai termasuk biotanya, yang dilanjutkan sedekah ikan (penebaran bibit ikan) dan tanam pohon di wilayah Hutan Kota Sangga Buana.