Komitmen pemerintah tampak menguat terhadap Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disahkan DPR, Selasa (8/9), sebagai pengganti Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997.
"Melalui undang-undang yang baru disahkan ini, ingin dicapai pembangunan berkelanjutan," kata Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar seusai pengesahan undang-undang tersebut pada Sidang Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar.
Sebelumnya sepuluh fraksi parlemen secara aklamasi menyetujui RUU PPLH. Alasan utama, risiko bencana ekologi di Indonesia sekarang makin masif dan berulang setiap tahun sehingga perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang makin baik kian diharapkan.
Rachmat Witoelar pada pandangan akhirnya mengemukakan, UU Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997 memiliki persoalan substansial, struktural, dan kultural. Menurut Rachmat, UU PPLH mewajibkan pemerintah daerah membuat kajian lingkungan hidup strategis untuk memastikan penerapan pembangunan berkelanjutan.
Bergantung pada presiden
Dalam UU PPLH, Kementerian Negara Lingkungan Hidup memiliki kewenangan mulai dari pembuat kebijakan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Pada UU sebelumnya kementerian negara itu hanya berfungsi koordinatif dan menetapkan kebijakan.
Menurut Rachmat, sesuai UU PPLH ada konsekuensi yaitu perlu ada perubahan struktural. "Bisa menjadikan kementerian ini departemen atau membentuk badan tertentu. Itu bergantung pada presiden," katanya.
Deputi III Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Masnellyarti Hilman mengatakan,
"Sejak tahun 1978 Kementerian Negara Lingkungan Hidup mulai kehilangan power (kekuatan) untuk menegakkan aturan mengenai lingkungan hidup. Tahun 2009 ini kementrian lingkungan telah mendapatkannya lagi," kata Masnellyarti.