Jumat, 22 November 2024   |   WIB
id | en
Jumat, 22 November 2024   |   WIB
Tiga Lapis "Pagar" untuk Malaysia

Konflik perbatasan Indonesia-Malaysia terjadi di daerah ”abu-abu” yang belum disepakati kedua pihak. Indonesia selesai menetapkan batas wilayah tahun 1999, dengan menerapkan teknik survei pemetaan mutakhir yang mengacu pada the United Nations Convention on the Law of the Sea.

Indonesia negeri yang unik. Daratannya berupa belasan ribu pulau besar-kecil, sedangkan perairannya meliputi 60 persen total wilayah atau 3.257.483 kilometer persegi. Cakupan laut seluas ini hampir menyamai daratan India. Panjang bentang wilayahnya lebih dari 7.365 kilometer, nyaris sama dengan bentangan daratan Amerika Serikat.

Memiliki kondisi geografis didominasi laut yang relatif dangkal, Indonesia—yang dijuluki Benua Maritim—dipagari oleh tiga jenis batas wilayah laut, yaitu Batas Laut Teritorial, Landas Kontinen, dan Zona Ekonomi Eksklusif. Penetapan tiga batas wilayah maritim ini diatur dalam the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) I dan III.

Pada Batas Laut Teritorial yang berjarak 12 mil laut dari garis pangkal, negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayah itu. Apabila ada kapal asing yang masuk, misalnya, petugas keamanan berhak menangkap bahkan menenggelamkan.

Pada Landas Kontinen yang berjarak 200 mil dari garis pangkal, negara berdaulat untuk mengelola sumber daya alam di bawah dasar laut, seperti sumber tambang. Namun, bisa mengklaim penambahan zona ini apabila menemukan sedimen di dasar pulau yang dibuktikan secara ilmiah memenuhi ketentuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pada Zona Ekonomi Eksklusif yang berjarak 200 mil dari garis pangkal, negara memiliki kedaulatan eksklusif untuk pemanfaatan sumber daya di kolom air hingga ke permukaannya.

Survei kelautan

Bagi Indonesia yang memiliki wilayah perairan yang luas, proses pemetaan maritim untuk memenuhi ketentuan PBB tersebut bukanlah hal yang mudah. Untuk pengukuran batas di laut, diperlukan teknik survei yang berbeda dan kapal riset yang dilengkapi peralatan yang mendukung.

Survei pemetaan batas laut di Indonesia, tutur Sobar Sutisna, Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), dilakukan pihaknya dengan menggunakan Kapal Baruna Jaya II milik BPPT (Badan Pengkajian Penerapan Teknologi) tahun 1996 hingga 1999. Survei ini mendapat bantuan teknis dari Norwegia.

Peralatan yang digunakan antara lain penginderaan jauh dengan sistem radar dan laser dari udara. Adapun untuk memantau batimetri di dasar laut menggunakan sistem sonar (multibeam echosounder). Sistem sonar ini dapat menjangkau kedalaman hingga 7.000 meter.

Dengan sarana ini dilakukan survei ke pulau-pulau terluar di wilayah Nusantara. Di pulau terluar kemudian ditetapkan titik dasar terluar. Antara titik itu lalu ditarik garis pangkal geografis. ”Selama tiga tahun survei dihasilkan lebih dari 230 titik dasar di 120 pulau terluar,” kata Sobar.

Perundingan batas maritim

Menggunakan peta batas wilayah yang telah disusun itu, Indonesia kemudian mengadakan perundingan dengan 10 negara tetangga. Awal perundingan tahun 1970-an, dilakukan dengan Singapura dan Malaysia. ”Hingga kini, Indonesia telah memiliki 18 perjanjian batas maritim dengan negara tetangga,” ujar Asep Karsidi, Kepala Bakosurtanal.

Dari seluruh batas wilayah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga, batas terpanjang memang dengan Malaysia. Perundingan batas wilayah maritim Indonesia-Malaysia, sejak terhenti pada awal 2009, akan dimulai lagi pada Senin (6/9) di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Perundingan akan membahas semua batas wilayah laut yang belum disepakati yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Batas Laut Teritorial, dan Landas Kontinen.

Saat ini sebagian besar Batas Laut Teritorial dan Landas Kontinen telah disepakati, baik oleh Indonesia maupun Malaysia. Persetujuan Batas Laut Teritorial telah mencapai lebih dari 80 persen, tetapi yang belum disepakati adalah 20 persen, yaitu sepanjang hampir 50 mil laut atau 92,6 kilometer.

Di bagian barat, daerah ”abu-abu” itu berada di selatan Selat Malaka, daerah antara Johor dan Pulau Bintan, serta perairan dekat Batu Puteh di timur Singapura. Di perairan Kalimantan batas yang belum disepakati ada di Tanjung Datuk yang berhadapan dengan Laut China Selatan dan Pulau Sebatik di Laut Sulawesi.

Landas Kontinen yang sudah disepakati mencapai lebih dari 95 persen, atau masih menyisakan batas berjarak kurang dari 100 mil atau 185,2 kilometer, yaitu di Ambalat Laut Sulawesi.

Namun, hingga kini Zona Ekonomi Eksklusif di perbatasan kedua negara belum ada satu pun yang disepakati. Padahal, kawasan ini memiliki arti penting bagi aspek ekonomi karena Zona Ekonomi Eksklusif mengandung potensi perikanan dan nilai strategis dari aspek transportasi laut.

”Perundingan pada September mendatang kemungkinan akan berlangsung alot dan memakan waktu lama,” ujar Sobar, selain karena kepentingan ekonomi, juga karena suasana politis yang sedang menghangat.

Perundingan Batas Laut Teritorial dan Landas Kontinen dilaksanakan setelah keluarnya UNCLOS I tahun 1958. Perundingan Indonesia-Malaysia untuk dua batas itu dilaksanakan sejak tahun 1969 hingga 1972.

Adapun ketetapan tentang Zona Ekonomi Eksklusif baru dikeluarkan pada UNCLOS III tahun 1982. Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia mencapai total 1.200 mil atau 2.222 kilometer. ”Zona sepanjang ini belum ada yang disepakati,” ujar Sobar. Zona itu meliputi garis sepanjang 300 mil laut di Selat Malaka, 800 mil laut di Laut China Selatan, dan sekitar 100 mil laut di Laut Sulawesi.

”Di antara perbatasan Zona Ekonomi Eksklusif tersebut yang sering menimbulkan konflik ada di Selat Malaka. Karena Malaysia menarik garis masuk ke dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif yang ditetapkan Indonesia hingga sejauh 9 mil,” papar Sobar.

Menghadapi kondisi belum adanya kesepakatan batas wilayah di beberapa titik di Selat Malaka, Laut China Selatan, dan Laut Sulawesi, Indonesia perlu mengintensifkan patroli lautnya di tiga kawasan itu.

Yuni Ikawati (kompas.com)