Ekspedisi Geografi Indonesia VI Sumatera Utara 2009
Andaikan seperti perebutan kursi DPR, tembakau Deli selalu mendapatkan ‘kursi' khusus di pasar tembakau Bremen. Tembakau yang menurut penikmatnya memiliki cita rasa dan aroma yang khas ini, belum dapat disamai oleh tembakau dari pelosok dunia lainnya.
PT. Perkebunan Nusantara II melaporkan hasil penjualan tembakau Deli di pasar Bremen pada tahun 2007, memperoleh pendapatan sebesar Rp 56,277 miliar (Kapanlagi.com, 18 Juli 2007). Pendapatan ini telah dianggap cukup bagus dibanding tahun sebelumnya (Rp 56,116 miliar), meskipun volumenya lebih menurun. Pada tahun 2006 mencapai 4.371 bal, sedangkan 2007 hanya mencapai 3.770 bal.
Peningkatan pendapatan ini disinyalir karena peningkatan kualitas tembakau Deli, setelah dilakukan pemangkasan jumlah kebun, yang awalnya 12 menjadi 6 pada tahun 2007. Perlu diketahui, kebun tembakau pada tahun 1889 berjumlah 170 kebun.
Tembakau Deli pada awal abad ke-19 merupakan primadona hasil perkebunan di wilayah Hindia Belanda, sehingga mengangkat nama Tanah Deli di kancah perdagangan dunia. Namun, sayangnya kian tahun jumlah kebun tembakau Deli kian menurun, hingga tergeser dengan komoditas lainnya, yaitu kelapa sawit.
Abdul Rauf menyebutkan setelah Perang Dunia II kebun tembakau Deli masih tersisa 30 kebun (1949). Tiga tahun berikutnya tinggal 25 kebun, hingga pada tahun 2007 yang lalu tersisa 6 kebun saja.
Keenam kebun yang masih tersisa itu antara lain Kebun Sampali (1.584 ha), Helvetia (1.008 ha), Buluh Cina (1.200 ha), Tandem (720 ha), Klambir Lima (720 ha), dan Klumpang (1.728 ha).
Bergesernya komoditi perkebunan yang terjadi di Sumatera Utara, akibat kelatahan secara emosional yang dilakukan oleh pemilik perkebunan. Akibatnya, perwilayahan komoditi sesuai dengan kondisi lingkungannya akan susah dilakukan, demikian papar Rauf saat berdiskusi dengan Tim Ekspedisi Geografi Indonesia VI (19 Mei 2009).
Kondisi inilah yang dialami oleh Tembakau Deli, yang lambat laun semakin terdesak oleh Kelapa Sawit karena memiliki nilai ekonomi lebih tinggi di pasar dunia. Jika tanpa suatu usaha yang maksimal dari pemerintah dan perguruan tinggi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas Tembakau Deli, maka bahan cerutu tiper Eropa ini hanya menyisakan legenda, seperti bangsal-bangsal yang ditemui oleh Tim EGI VI di sepanjang jalan raya Stabat-Pangkalan Brandan, yaitu Kebun Kuala Begumit.
Bangsal yang berdiri sejak jaman Kolonial Belanda itu, kini nampak kusam. Sebuah alat berangka tahun 1886 teronggok berdiri tanpa fungsi apapun. Di sebelahnya terlihat tumpukan tembakau yang telah berujud tanah coklat, hancur dan hanya terlihat serat-seratnya saja.
Tembakau Deli adalah simbol kejayaan Kerajaan Deli. Melalui komoditas inilah Kerajaan Deli tersohor di dunia pada awal abad ke-19. Namun, seiring dengan menurunnya kekuasaan Deli akibat campur tangan penjajah, menurunkan pula produksi komoditas tembakau di Tanah Deli.
Deli adalah tanah yang subur dan makmur. Jika kini kita tidak dapat melihat kejayaan Deli dengan tembakaunya, sudah sepantasnya jika kita berharap dapat melihat Kelapa Sawit jaya di pasar dunia.
Oleh Agung Christianto