Siang itu ‘keluarga' Otanaha diam mematung, tidak bergeming sedikitpun, teriknya matahari seolah tak mereka hiraukan. Wajahnya yang kusam, mempertegas uzurnya usia mereka. Otanaha, Otahiya (‘istrinya')dan Ulupahu (‘anaknya') seolah hanya monumen yang tidak berarti, tegak berdiri di atas bukit, tidak jauh dari Danau Limboto.
Otanaha, Otahiya, dan Ulupahu adalah tiga benteng yang menyimpan kisah panjang Gorontalo. Mulai dari kedatangan bangsa Portugis sekitar abad ke-15, petempuran dua kerajaan bersaudara (Gorontalo dan Limboto), hingga saksi bisu pendangkalan Limboto yang kini menjadi ancaman serius masalah lingkungan.
Benteng yang dibuat oleh Portugis atas permintaan Raja Ilato (Matolodolakiki), merupakan bagian dari pakta kerjasama pertahanan Gorontalo dan Portugis untuk mengusir bajak laut. Namun kenyataannya Portugis hanya memanfaatkan mereka, sehingga diusirlah bangsa Eropa itu dari Bumi Gorontalo.
Benteng yang berdiri di atas bukit Kelurahan Dembe I tersebut, memiliki posisi yang sangat strategis, sehingga dapat memantau lingkungan sekelilingnya dari atas. Disinyalir, Gorontalo dan Limboto pada awalnya adalah suatu genangan air yang terhubung ke laut, sehingga kapal-kapal besar pun dapat bersandar masuk ke wilayah yang sekarang semakin dangkal itu.
Otanaha sangat spesial bagi Gorontalo, hingga Dinas Pariwisata Kota Gorontalo menjadikannya salah satu tujuan utama obyek wisata. Namun, pendatapatan yang diperoleh dari benteng ini terasa sangat kecil. Dinas Pariwisata yang menargetkan retribusi sebesar 5 juta rupiah pada tahun 2008, terealisasi 6,38 juta rupiah, melampaui target yang dicanangkan. Namun, nilai itu sangat kecil jika dibandingkan dengan perolehan retribusi lainnya, seperti Bak Potanga, Kolam Renang Lahilote, dan lainnya, yang notabene tidak memiliki nilai historis.
Retribusi tersebut cukup mempresentasikan jumlah pengunjung ke benteng bersejarah itu. Jika jumlah retribusi yang diperoleh pada tahun 2008 itu dibagi berdasar retribusi yang dipungut dari pengunjung, maka diperoleh angka 3.190 orang selama satu tahun. Jika dibagi lagi berdasar bulan, maka didapatkan angka 266 orang, dan per harinya rata-rata hanya 9 orang pengunjung saja. Sungguh nilai yang sangat kecil, dan tidak signifikan sekali.
Rasa-rasanya, angka tersebut tidak akan pernah mampu untuk pembenahan infrastruktur Benteng Otanaha. Bahkan untuk upah perawatan saja, perolehan retribusi itu tidak akan cukup.
Mansur Pateda mengakui nilai jual dari obyek wisata ini sangat kurang, demikian diungkapkan oleh Direktur Pasca Sarjana Universitas Negeri Gorontalo (UNG) tersebut, saat ditemui di kampus oleh Tim EGI V 2009 (20 Maret 2009)
Apa yang perlu dilakukan, adalah inovasi. Kreasi anak bangsa, baik dalam bentuk budaya maupun infrastruktur mungkin akan membantu meningkatkan pengunjung obyek historis ini.
Pembenahan lingkungan bukit, seperti penanaman pepohonan yang berwarna-warni, baik daun maupun buah atau bunga, dapat membantu mempercantik Otanaha, sebagaimana diungkapkan oleh seorang peserta ekspedisi.Namun, penataan itu harus tetap memperhatikan aspek-aspek lingkungan.
Demikian pula pelaksanaan kegiataan-kegiatan tertentu, seperti sendratari, pameran, dan lainnya mungkin akan menambah marak pemerhati benteng berserajah ini.
Ada banyak inovasi yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak yang peduli terhadap keberadaan Otanaha. Oleh karena itu, jangan biarkan Otanaha merana.
Oleh Agung Christianto