Naiknya permukaan laut akibat pemanasan global telah merendam pantai di berbagai wilayah Indonesia, terutama di Paparan Sunda dan Paparan Sahul. Di Paparan Sunda ada Pulau Jawa yang perlu mendapat perhatian lebih karena pertimbangan ekologis dan ekonomis.
Gas-gas rumah kaca (GRK), terutama karbon dioksida yang terus teremisikan ke atmosfer tanpa henti bahkan terus merangkak naik sejak tiga abad lalu, telah menampakkan dampak buruknya secara nyata.
Beberapa negara kepulauan telah melaporkan kehilangan pulau-pulau kecilnya. Papua Niugini, misalnya, melaporkan ada tujuh pulaunya yang berada Provinsi Manus telah tenggelam. Adapun Kiribati telah kehilangan tiga pulaunya, sekitar 30 pulau lainnya juga mulai menghilang dari permukaan laut.
Kiribati bukan satu-satunya negara kecil yang tergabung dalam SIDS (Small Islands Development States) yang terancam hilang dari muka bumi ini. Diperkirakan dari 44 anggota SIDS, 14 negara di antaranya akan lenyap akibat naiknya permukaan laut.
Di Samudra Pasifik ancaman itu selain dihadapi Kiribati juga dialami Seychelles, Tuvalu, dan Palau. Adapun di Samudra Hindia ada Maladewa yang bahkan akan kehilangan seluruh pulaunya. Menghadapi ancaman hilangnya kedaulatan wilayahnya, belum lama ini Presiden Maladewa yang berpenduduk 369.000 jiwa menyatakan akan merelokasikan seluruh negeri itu dan mengharapkan uluran tangan negara lain untuk mereka menyewakan wilayahnya.
Sementara itu, nasib yang sedikit beruntung dialami Vanuatu yang didiami 212.000 penduduk. Negara ini masih memiliki lahan untuk merelokasi penduduknya yang tinggal di kawasan pesisir yang terendam.
Kerugian Indonesia
Di antara negara kepulauan di dunia, agaknya kerugian terbesar bakal dihadapi Indonesia, sebagai negara yang memiliki jumlah pulau terbanyak. Pada tahun 2030 potensi kehilangan pulaunya sudah mencapai sekitar 2.000 bila tidak ada program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, urai Indroyono, Sekretaris Menko Kesra yang juga mantan Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan DKP.
Saat ini belum diketahui berapa sesungguhnya jumlah pulau di Nusantara ini yang telah hilang karena dampak kenaikan permukaan laut. Namun, pengamatan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) menunjukkan penciutan daerah pantai sudah terlihat di pulau-pulau yang berada di Paparan Sunda dan Paparan Sahul, ungkap Aris Poniman, Deputi Sumber Dasar Sumber Daya Alam Bakosurtanal.
Paparan Sunda meliputi pantai timur Pulau Sumatera, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan serta pantai utara Pulau Jawa. Adapun Paparan Sahul berada di sekitar wilayah Papua. Penjelasan Aris didasari pada pemantauan pasang surut yang dilakukan Bakosurtanal di berbagai wilayah pantai Nusantara sejak 30 tahun terakhir.
Menghadapi ancaman hilangnya kawasan pantai dan pulau kecil yang kemungkinan akan terus berlanjut pada masa mendatang, Aris yang juga pengajar di IPB menyarankan penyusunan peta skala besar, yaitu 1:5.000 dan 1:1.000.
"Saat ini baru tiga kota besar, yaitu Jakarta, Semarang, dan Makassar, yang memiliki peta berskala tersebut," ujarnya. Pada peta tampak detail wilayah pantai yang terbenam di tiga kota tersebut. Peta ini disusun Bakosurtanal bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA).
Selain itu, pembuatan peta skala besar juga dilaksanakan untuk wilayah barat Sumatera dan selatan Jawa-Bali-Nusa Tenggara. Hal ini terkait dengan pembangunan Sistem Peringatan Dini Tsunami (TEWS). Sementara itu, untuk wilayah timur Sumatera dan wilayah lain yang tergolong rawan genangan air laut akibat pemanasan global peta yang ada masih berskala kecil, sekitar 1:25.000.
"Pembuatan peta genangan perlu menjadi prioritas agar setiap daerah dapat melakukan langkah antisipasi dan adaptasi pada wilayah yang bakal tergenang dalam 5 hingga 20 tahun mendatang," ujarnya.
Data spasial dan penginderaan jauh yang merekam dampak pemanasan global juga akan menjadi materi untuk pengambilan kebijakan di setiap instansi terkait pada waktu mendatang, urai Indroyono.
Skenario usia bumi
Tanpa perubahan pola konsumsi manusia dan perilaku manusia, serta tanpa upaya mereduksi emisi GRK untuk mengatasi pemanasan global, Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan usia bumi tinggal seabad lagi.
Proyeksi itu berdasar tren kenaikan suhu udara hingga 4°C. Tingkat itu dapat tercapai bila emisi GRK terus bertambah dalam beberapa dekade ke depan karena tidak ditegakkannya kebijakan mitigasi perubahan iklim dan pola pembangunan ramah lingkungan.
Bila melihat data emisi GRK pada kurun waktu 1970-2004, emisi GRK naik 70 persen. Tingkat itu disumbangkan dari sektor energi yang mencapai peningkatan 145 persen.
Bila temperatur udara naik menjadi 4°C, dampaknya antara lain hilangnya 30 persen lahan basah, naiknya kasus penyakit akibat udara panas, banjir, dan kekeringan, mengakibatkan angka kematian naik drastis.
Ancaman itu, menurut IPCC, dapat dicegah dengan beberapa skenario untuk menurunkan GRK hingga tahun 2030. Skenario terbaiknya adalah menahan kenaikan suhu bumi hanya 2°C-2,4°C sampai 23 tahun ke depan. Untuk mencapai itu, konsentrasi GRK harus distabilkan pada kisaran 445-490 part per million (ppm).
Skenario lain menyebutkan, kenaikan dibatasi sekitar 3,2°C hingga 4°C pada kurun waktu yang sama, dengan menjaga jumlah GRK 590-710 ppm. Saat ini tingkat GRK telah melampaui itu semua. Tahun 2005 konsentrasi GRK 400-515 ppm.
Menurut IPCC, target itu bisa dicapai jika diterapkan kebijakan mitigasi perubahan iklim di tiap negara, yang harus diambil di sektor energi, transportasi, gedung, industri, pertanian, kehutanan, dan juga manajemen limbah.
Oleh Yuni Ikawati
Sumber: cetak.kompas.com