Rabu pagi, 18 Maret 2009, Gorontalo sangat cerah. Langit biru dihiasi sedikit awan putih, menerawangkan bulan di siang hari yang nampak separoh.
Di pagi itu pula, usai diterima Sekretaris Daerah Gorontalo, Idris Rahim, Tim Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) langsung bertolak ke Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TN BNW), di lokasi wisata Lombongo.
Obyek wisata yang konon katanya sangat indah, nampak sepi tanpa pengunjung, kecuali Tim EGI. Namun, bukan itu tujuan utama tim ekspedisi ini, air terjun Lombongo I dan II yang menjadi orientasinya.
Sebelum menuju ke lokasi air terjun, dikisahkan oleh pemandu dari Kantor Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Suwawa, Amin, sehari sebelum lebaran haji tahun lalu (2008) telah terjadi banjir bandang yang menghancurkan jembatan di atas Sungai Boliohutu. Nampak hanya bagian penopang jembatan saja yang masih tersisa akibat terjangan air bah dari hulu anak Sungai Bone tersebut.
Di antara kedua landasan terdapat sungai kecil mengalir beriak-riak dingin dan jernih, hingga nampak dasar sungai yang tidak lebih dari lutut kaki orang dewasa. Terlihat batu-batu besar berwarna putih menghiasi beberapa pinggiran sungai dan mengarahkan aliran sungai berliku-liku.
Tim ekspedisi pun harus menyeberangi sungai, karena jembatan gantung yang masih menggantung juga tak dapat dilalui. Banyak papan-papannya yang hilang, sehingga hanya tersisa tali-tali dan beberapa papan di ujung yang lain.
Naik ke seberang, terdapat satu gubuk beratap terpal dengan seorang warga setempat sedang membuat gula aren. Bapak yang bertelanjang dada menyambut peserta ekspedisi dengan ramah, tanpa sungkan menjelaskan segala pertanyaan yang dilontarkan oleh anggota EGI 2009.
Usai di titik ini, mulailah tim yang saat itu berjumlah 12 orang, tersisa 8 orang plus pemandu menuju air terjun Limbongo. Terbanyang di benak mereka yang mendaki sisi sungai, air terjun nan elok di depan mata.
Sambil mengayunkan parangya, Amin, si pemandu, menjelaskan beberapa hal tentang Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dari sisi Gorontalo. Amin sangat menguasai medan, melangkah tanpa ragu menyusuri tepi sungai yang licin.
Tidak lebih 200 meter, tidak ada lagi jalan setapak. Jalan satu-satunya adalah menelusuri sungai yang saat itu kedalamannya kurang dari 30 centimeter. Hanya beberapa bagian saja nampak agak dalam. Arus pun tidak cukup deras, meskipun sedikit merepotkan juga, karena berpijak di batu-batuan basah yang licin akan berisiko terpeleset.
Cukup jauh tim ekspedisi melangkah, hampir 1,5 kilometer, di medan yang berbatu dan menanjak. Jalan pun tidak bisa lurus, harus ke arah kanan lalu ke kiri, kanan lagi, mencari landasan yang sekiranya kuat untuk dipijak.
Di bagian hulu sungai, tim menemui beberapa ‘bendungan alam' yang terbentuk oleh pepohonan yang tumbang dari atas. Awalnya hanya kayu-kayu kecil, lalu di beberapa lokasi ditemukan kayu-kayu besar menghalangi laju air. Tapi pada saat itu, karena air yang mengalir kecil, pengaruh ‘bendungan-bendungan' tersebut tidak cukup berarti.
Bendungan-bendungan itulah yang menyebabkan air tertahan dan jika kekuatannya tidak mampu dibendung, maka akan mengalir sangat deras seperti air bah. Tim ekspedisi setidaknya menemukan 3 lokasi ‘bendungan' alam yang besar.
Hampir 3 kilometer, hanya tersisa 4 anggota EGI, lainnya menunggu di satu ‘bendungan' besar. Namun, langit mulai diselimuti awan. Hujan rintik-rintik pun mulai membasahi topi merah anggota EGI 2009.
Air yang pada awalnya jernih, tiba-tiba menjadi merah dan arusnya semakin deras. Kurang dari setengah jam, aliran air yang sangat deras menggenangi Sungai Boliohuto. Batu-batu besar yang awalnya menjulang, kini tak nampak lagi. Hujan pun semakin deras. Basah kuyup semua anggota EGI saat itu.
Di dalam benak tim adalah bagaimana melepaskan diri dari ganasnya alam. Anggota ekspedisi yang tanpa dibekali perlengkapan semestinya, berusaha sekuat tenaga untuk dapat lolos dari derasnya arus sungai. Jika rasa was-was pun menghantui tim ekspedisi, sebaliknya dengan Amin yang masih yakin dan tenang menunjukkan arah dan menyeberangi sungai.
Akhirnya tim pun dapat bergabung. Mereka yang tertinggal di tengah jalan ternyata memilih jalan naik. Mereka pun kuatir jika terjadi banjir bandang seperti tahun lalu.
Meskipun berjalan lambat, tim yang lengkap menyusuri Sungai Boliohuto, akhirnya dapat mencapai jalan setapak. Sedikit lega, karena tidak bertarung dengan gemuruh derasnya arus. Tapi harus tetap waspada, karena jalan semakin licin dan menurun.
Tim EGI pun dapat mencapai titik semula, di mana terdapat gubuk kecil dengan pembuat aren yang belum meninggalkan tempatnya.
Bayangan-bayangan kengerian itu sirna sudah, usai tim dapat menyeberangi lagi sungai, hingga mencapai lokasi armada menunggu. Kedinginan, capek, senang, dan segala rasa lainnya bercampur aduk di masing-masing anggota, baik yang menunggu maupun yang berjalan menyusuri sungai.
Itu hanya satu kisah setitik saja, belum seberapa jika dibandingkan dengan mereka yang menjaga kelestarian hutan-hutan di Tanah Air ini. Sudah sepatutnya jika kita pun menghargai mereka.
Oleh Agung Christianto