Ekspedisi Geografi Indonesia VI Sumatera Utara 2009
Pagi itu Tim Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) VI Tahun 2009 berjumpa dengan Sasa. Sasa menyambut Tim EGI di seberang Sungai Bohorok. Tanpa sepatah katapun Sasa dengan cueknya mencelup-celupkan kain yang dia bawa ke air.
Seluruh anggota Tim EGI pun senyum-senyum melihat tingkah laku Sasa, yang tidak jelas apa maksudnya. Namun, tidak lama kemudian seorang petugas mengajak Sasa masuk kembali ke kawasan konservasi orang utan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Sasa adalah salah seekor orang utan (Pongo abelii) yang direhabilitasi agar dapat kembali ke habitat aslinya. Iskandar, anggota Tim EGI dari TNGL, menjelaskan apa yang telah dilakukan oleh Sasa tadi sebetulnya tidak perlu terjadi, karena Sasa terlalu jinak sehingga sering mengikuti perilaku manusia. Akibatnya, dia masih susah untuk dilepaskan dengan orang utan lainnya.
Iskandar juga memperingatkan kepada setiap anggota Tim EGI untuk tidak terlalu dekat dengan Sasa atau orang utan lainnya, karena tabiat mereka yang nampak jinak, kadang-kadang dapat berubah liar. Sasa pun sering menampakan diri kepada para pengunjung, bahkan wajahnya pernah menjadi cover majalah geografi.
Sasa pun tidak pernah dipanggil dengan namanya. Nama itu diberikan oleh para petugas untuk membedakan antara orang utan yang satu dengan lainnya. Mereka pun tidak pernah berkomunikasi menggunakan bahasa manusia untuk meminta orang utan itu mengambil makanan yang mereka berikan.
Pemberian makanan kepada orang utan inilah yang menjadi salah satu daya tarik wisata alam Bukit Lawang. Lokasi wisata andalan Sumatera Utara ini pernah hancur lebur akibat banjir bandang enam tahun silam. Banyak wisatawan dan penduduk setempat yang meninggal karena banjir besar yang menghayutkan kayu-kayu besar dari atas perbukitan di bagian atas.
Air itu seperti gemuruh guntur dan datang tiba-tiba, tutur seorang nenek yang selamat karena dia sedang sholat terawih di sebuah masjid. Masjid itu pun utuh tidak rusak, mungkin karena lokasinya yang terlindung dinding bukit di sebelahnya.
Banjir bandang itupun telah menyebabkan semakin terpuruknya wisata alam di Bukit Lawang. Kunjungan wisata di kawasan ini berada pada titik paling bawah sejak pertama kali dibuka. Meskipun kini telah menggeliat kembali, namun tidak seramai sebelum banjir menghantam permukiman di Bukit Lawang, itu pula yang diperoleh anggota Tim Ekspedisi dari penduduk setempat.
Bukit Lawang dan lokasi wisata lainnya adalah lumbung devisa sektor pariwisata Provinsi Sumatera Utara. Keseriusan pemerintah dan pihak terkait pun perlu ditingkatkan, mengingat akses menuju ke lokasi wisata itu rusak berat. Mungkin dapat dimaklumi jika melewati perkebunan kelapa sawit milik swasta asing, tapi tidak ada alasan untuk tidak merawatnya.
Demikian pula dengan usaha rehabilitasi dan konservasi satwa langka menuntut kepedulian kita bersama. Keberadaan orang utan adalah salah satu indikator degradasi lingkungan yang terjadi dewasa ini. Asa itu pun akan selalu terjaga.
Oleh Agung Christianto